A.
JUDUL
PENELITIAN
PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN IPS
B.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Pendidikan
merupakan suatu fondasi yang berperan sangat besar terhadap kemajuan suatu
bangsa. Bisa dikatakan bahwa bangsa yang maju tidak akan tercipta jika tanpa
pendidikan yang baik. Pada dasarnya, pendidikan dilakukan untuk mewariskan,
mengubah, dan menambah pengetahuan, pengalaman, sikap, perilaku dan
keterampilan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pendidikan
juga memiliki tujuan sebagai titik tolak dalam perjalanannya. Sebuah pendidikan
akan selalu di arahkan pada sebuah tujuan yang dapat membawa sebuah fungsi
kebermanfaatan. Berdasarkan hal tersebut sebagai pendidik tentulah kita harus
mengetahui konsep, fungsi dan tujuan pendidikan di negara ini dengan kefleksibelan
yang akan membawa kita ke taraf kehidupan yang lebih baik di era globalisasi
ini.
Pengertian
pendidikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (2010, hlm. 3) ialah:
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian, keverdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara.
Adapun
fungsi dan tujuan pendidikan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa:
Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Berdasarkan
pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan memiliki fungsi
penting dalam pengembangan kemampuan dan pembentukan generasi penerus bangsa
yang tidak hanya cerdas dan terampil secara akademik tapi juga memiliki akhlak
yang mulia serta bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa dan negaranya
menuju arah yang lebih baik. Oleh karena itu,
melalui pendidikan manusia dididik untuk menjadi manusia seutuhnya yang
memiliki peran sebagai makhluk individu, sosial dan susila.
Kualitas pendidikan, yang utama ditentukan oleh
proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar tersebut, guru memegang
peran yang penting, seorang guru harus mampu mengembangkan suasana bebas bagi
siswa untuk mengkaji apa yang menarik dan mampu mengekspresikan ide-ide dan
kretivitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Oleh
karena itu, guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan, khususnya di
sekolah (Depdiknas, 2008, hlm. 1).
Pendidikan
ditempuh secara berjenjang, mulai dari jenjang TK/PAUD, SD, SMP, SMA, dan
Perguruan Tinggi. Pendidikan di SD adalah salah satu pendidikan paling awal dan
dasar bagi peserta didik. Oleh karena itu, penanaman karakter yang mumpuni
beserta pemberian ilmu pengetahuan dapat diberikan pada anak melalui berbagai
pelajaran di sekolah. Salah satunya dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS). Pembelajaran IPS di SD bersifat teoritis dan praktis yang berguna bagi
diri dan kehidupan peserta didik dimasa kini maupun masa yang akan datang.
Mengenai
tujuan ilmu pengetahuan sosial, para ahli sering mengaitkannya dengan berbagai
sudut kepentingan dan penekanan dari program pendidikan tersebut. Waterwroth
(2007, hlm. 5) menyebutkan bahwa tujuan social
studies (IPS) adalah untuk mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang baik dalam kehidupannya di masyarakat,
dimana secara tegas ia mengatakan "to
prepare students to be well-functioning citizens in a democratic society".
Tujuan lain dari IPS adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa menggunakan
penalaran dalam mengambil keputusan setiap persoalan yang dihadapinya. Hasan
(2007, hlm. 24) mengatakan bahwa tujuan dari IPS adalah untuk mengembangkan
kemampuan berpikir, sikap, dan nilai peserta didik sebagai individu maupun
sosial dan budaya. Ilmu pengetahuan sosial juga membahas hubungan antara
manusia dengan lingkungannya, yaitu lingkungan masyarakat dimana anak didik
tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat, dan dihadapkan pada
berbagai permasalahan yang ada dan terjadi di lingkungan sekitarnya.
Pola pembelajaran IPS di SD hendaknya lebih menekankan
pada unsur pendidikan dan pembekalan pemahaman, nilai-moral, dan
keterampilan-keterampilan sosial pada siswa. Untuk itu, penekanan
pembelajarannya bukan sebatas pada upaya mencekoki atau menjejali siswa dengan
sejumlah konsep yang bersifat hapalan belaka, melainkan terletak pada upaya
menjadikan siswa memiliki seperangkat pengetahuan, sikap, nilai, dan keterampilan
agar mereka mampu menjadikan apa yang telah dipelajarinya sebagai bekal dalam
memahami dan ikut serta dalam melakoni kehidupan masyarakat lingkungannya, serta sebagai bekal bagi
dirinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kegiatan
evaluasi dilaksanakan untuk mengukur dan menilai keberhasilan proses
pembelajaran, khususnya hasil belajar siswa. Rendahnya hasil belajar siswa
khususnya pada mata pelajaran IPS disebabkan oleh beberapa faktor, seperti proses
pembelajaran yang masih berpusat pada guru (teacher
centered) dan metode ceramah menjadi pilihan utama guru dalam menyampaikan
materi. Penggunaan metode yang tidak variatif cenderung menciptakan iklim
belajar yang tidak maksimal dan membosankan. Selain strategi pembelajaran yang
berpusat pada guru, muatan pembelajaran yang disampaikan pun cenderung hanya
berisikan teori dan tidak memiliki kaitan dengan dunia nyata atau lingkungan
sekitas siswa (tidak kontekstual).
Berdasarkan kondisi
tersebut, guru harus cermat dalam memilih model pembelajaran dan merancang
program serta strategi pembelajaran, sehingga pembelajaran yang dilakukannya
menjadi pembelajaran yang menarik, aktual, dan fungsional bagi siswa. Pemilihan
model pembelajaran oleh guru mempunyai
dampak yang sangat esensial bagi perolehan belajar siswa.
Salah satu
model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model Problem Based Learning (PBL) atau Pembelajaran Berbasis Masalah
(PBM). Model ini berisikan permasalahan nyata sebagai konteks untuk para
peserta didik belajar berfikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah, dan
memperoleh pengetahuan.
Finkle dan Torp (1995, hlm. 72)
menyatakan bahwa:
PBM merupakan pengembangan kurikulum dan sistem
pengajaran yang mengembangkan secara simultan strategi pemecahan masalah dan
dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan dengan menempatkan para peserta didik
dalam peran aktif sebagai pemecah permasalahan sehari-hari yang tidak
terstruktur dengan baik.
Definisi di
atas mengandung arti bahwa PBL atau PBM merupakan setiap suasana
pembelajaran yang diarahkan oleh suatu permasalahan sehari-hari dimana siswa
menjadi subjek yang berperan memecahkan masalah. Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah
pendekatan pembelajaran yang
menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk
belajar. Dalam
kelas
yang
menerapkan
pembelajaran berbasis masalah, peserta didik bekerja dalam
tim untuk memecahkan masalah dunia nyata.
Adapun
masalah umum yang sering dihadapi oleh siswa dan guru khususnya siswa
masih cukup banyak yang belum dapat mencapai hasil belajar yang
memuaskan. Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan hasil belajar tersebut
mengalami kegagalan dalam bidang akademik baik faktor-faktor yang berada dalam
diri siswa maupun faktor-faktor yang berada diluar diri siswa seperti tingkat
intelegensi yang rendah, kurangnya motivasi belajar, cara belajar yang kurang
efektif, minimnya frekuensi dan jumlah waktu belajar, tingkat disiplin diri
yang rendah, media belajar atau bahan ajar yang masih kurang disediakan pihak
sekolah dan sebagainya. Demi mencapai prestasi belajar yang memuaskan tersebut
dengan sistem pendidikan yang semakin maju dan didukung juga perkembangan
teknologi. Teknologi multimedia telah menjanjikan potensi besar dalam merubah
cara seseorang untuk belajar, untuk memperoleh informasi, menyesuaikan
informasi dan sebagainya.
Pembelajaran
yang disertai dengan multimedia juga menyediakan peluang bagi guru untuk mengembangkan
teknik pembelajaran sehingga menghasilkan hasil yang maksimal. Demikian juga
bagi siswa, dengan multimedia diharapkan mereka akan lebih mudah untuk
menentukan dengan apa dan bagaiamana siswa dapat menyerap informasi
secara cepat dan efisien. Sumber informasi tidak lagi terfokus pada teks dari
buku semata-mata tetapi lebih luas dari itu. Kemampuan teknologi multimedia
yang semakin baik dan berkembang akan menambah kemudahan dalam mendapatkan
pengetahuan siswa.
Berdasaran uraian latar belakang diatas, peneliti merasa
perlu menggunakan model Problem Based
Learning sebagai alternatif model pembelajaran IPS di SD dalam rangka
meningkatkan hasil belajar siswa dan menunjang keberhasilan pembelajaran IPS.
C.
IDENTIFIKASI
MASALAH
Proses
pembelajaran IPS dilapangan terlihat kurang mengaitkan materi pembelajaran
dengan lingkugan sekitar atau keadaan yang nyata yang terjadi di lingkungan
tempat siswa berada. Sehingga hasil pembelajaran yang dilakukan siswa disekolah
menjadi kurang aplikatif dengan kehidupan sehari-hari. Kemudian saat
pembelajaran berlangsung, siswa cenderung diberikan pertanyaan-pertanyaan
sederhana yang tidak melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
Sehingga kreativitas dan kemampuan berpikir siswa kurang berkembang jika digunakan
untuk memecahkan suatu masalah. Disamping itu, proses pembelajaran masih
konvensional dan berpusat pada guru yang mengakibatkan kurangnya interaksi
dalam pembelajaran. Dampak lain yang timbul yakni kurangnya antusiasme siswa
karena pembelajaran yang membosankan dan membuat mereka jenuh. Faktor kurang
optimalnya pembelajaran tersebut mengakibatkan hasil belajar yang dicapai siswa
masih rendah.
D.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan uraian
diatas, maka permasalahan dalam proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana
proses pembelajaran IPS dengan menggunakan Model Problem Based Learning berbasis multimedia?
2. Bagaimana
hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS menggunakan Model Problem Based Learning berbasis multimedia?
E.
TUJUAN
PENELITIAN
Tujuan penelitian ini
secara umum adalah untuk mengetahui pembelajaran IPS menggunakan Problem Based Learning berbasis multimedia yang dapat meningkatkan hasil belajar
siswa kelas IV sekolah dasar. Adapun rumusan penelitiannya adalah:
1. Untuk
mengetahui proses pembelajaran IPS dengan menggunakan Model Problem Based Learning berbasis
multimedia.
2. Untuk
mengetahui peningkatan kemampuan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS
dengan menggunakan Model Problem Based
Learning berbasis multimedia.
F.
MANFAAT
PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan
harapan memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis
penelitian ini berguna untuk menambah khazanah mengenai Model
Problem Based Learning berbasis multimedia
untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam Pembelajaran IPS.
Secara praktis penelitian ini
diharapkan berguna bagi pihak-pihak sebagai berikut.
1. Guru, sebagai alternatif pemecahan
masalah yang digunakan untuk mengembangkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS.
2. Siswa, sebagai sarana meningkatkan
hasil belajar serta
kreativitas dalam pembelajaran IPS dan kehidupan sehari-hari.
3. Sekolah, menciptakan lulusan
memiliki kesiapan secara akademis maupun moral dalam mengadapi tuntutan zaman.
4. Secara umum, untuk meningkatkan mutu
pendidikan serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang kreatif dan
inovatif.
G.
KAJIAN
PUSTAKA
1.
Hakikat
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Sekolah Dasar
Salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah
dasar adalah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Menurut Sardjiyo dkk
(2008, hlm. 27) menyatakan bahwa IPS merupakan bidang studi yang mempelajari,
menelaah, menganalisis gejala dan masalah sosial di masyarakat dengan meninjau
dari berbagai aspek kehidupan atau suatu perpaduan.
Sumaatmaja
(Istianti, 2007, hlm. 48) menyatakan bahwa Ilmu
sosial merupakan suatu bidang keilmuan yang mempelajari manusia sebagai
anggota masyarakat.
Berdasarkan pendapat dari para ahli diatas terdapat kesamaan yang
menyatakan bahwa merupakan suatu bidang studi yang mempelajari manusia sebagai
bagian dari anggota masyarakat dimana timbul berbagai gejala dan masalah sosial
didalamnya.
IPS sebagai
suatu progam pendidikan tidak hanya menyajikan tentang konsep-konsep
pengetahuan semata, namun harus pula mampu membina siswa menjadi warga Negara
dan warga masyarakat yang tahu akan hak dan kewajibannya, yang juga memiliki
atas kesejahteraan bersama yang seluas-luasnya. Oleh karena itu siswa yang
dibina melalui IPS tidak hanya memiliki pengetahuan dan kemampuan berfikir
tinggi, namun peserta didik diharapkan pula memiliki kesadaran dan tanggung
jawab yang tinggi terhadap diri dan lingkungannya.
Sebagai
bidang pengetahuan, ruang lingkup IPS dapat terlihat nyata dari tujuannnya. Di
sepanjang sejarahnya selama ini IPS memiliki 5 tujuan yang penjelasannya
sebagai berikut:
a.
Mempersiapkan siswa untuk studi lanjut dibidang social sciences seperti sejarah,
geografi, ekonomi dan antropologi budaya.
b.
Mendidik siswa agar meiliki wawasan budaya dan sosial
yang baik. Mata pelajaran yang disajikan oleh guru sekaligus harus ditempatkan
dalam konteks budaya melalui pengolahan secara ilmiah dan psikologis yang
tepat.
c.
Mempelajari masalah-masalah sosial yang bahannya
menyangkut macam-macam pengetahuan dari ekonomi sampai politik, dari yang sosial
sampai budaya. Dengan cara ini, siswa dilatih berfikir demokratis
Menurut
Sapriya (2012, hlm. 20) menyatakan bahwa:
Pembelajaran IPS di sekolah dasar merupakan nama mata pelajaran yang
berdiri sendiri sebagai integrasi dari sejumlah konsep disiplin ilmu sosial,
humaniora, sains bahkan berbagai isu dan masalah sosial kehidupan. Materi IPS
untuk jenjang sekolah dasar tidak terlihat aspek disiplin ilmu karena lebih
dipentingkan adalah dimensi pedagogik dan psikologis serta karakteristik
kemampuan berpikir peserta didik yang bersifat holistik.
Jadi,
dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk
mempersiapkan siswa agar siap menerima ilmu yang lebih mendalam, memiliki
wawasan budaya dan sosial yang baik, serta mempelajari masalah-masalah sosial
yang ada disekitarnya. Pembelajaran IPS di sekolah dasar diharapkan mampu membentuk
siswa yang memiliki social awareness terhadap
gejala atau kejadian sosial yang ada disekitarnya, serta memberikan kontribusi
positif dalam kehidupan masyarakat demokratis.
2.
Model
Problem Based Learning
a.
Landasan
Teori
Model pembelajaran Problem Based Learning memiliki beberapa
landasaran teori. Adapun landasan teori yang peneliti kaji diantaranya adalah
sebagai berikut:
1) Teori
Belajar Bermakna David Ausubel
Ausubel (dalam
Rusman, 2012, hlm. 244) membedakan antara belajar bermakna dengan belajar
menghafal. Belajar bermakna merupakan proses belajar dimana informasi baru
dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang
sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal diperlukan bila seseorang
memerlukan informasi baru dalam pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan
dengan yang telah diketahuinya.
Inti teori
Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna (meaningful learning). Belajar bermakna merupakan suatu proses untuk
mengaitkan informasi baru dengan konsep-konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang. Dalam menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran,
guru dianjurkan untuk mengetahui terlebih dahulu kondisi awal siswa. Hal ini
sesuai dengan pandangan bahwa ada satu faktor yang sangat mempengaruhi belajar,
yaitu pengetahuan yang telah diterima siswa.
Kaitan dengan
kegiatan Problem Based Learning dalam
hal mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh
siswa.
2) Teori
Belajar Jerome S. Bruner
Menurut Bruner, dalam proses belajar
dapat dibedakan tiga fase atau episode, yakni informasi, transformasi, evaluasi
(pengkajian pengetahuan). Informasi, dalam tiap pelajaran kita peroleh sejumlah
informasi ada yang menambah pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang
memperhalus dan memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa
yang telah kita ketahui sebelumnya, misalnya bahwa tidak ada energi yang
lenyap.
Transformasi, informasi itu harus
dianalisis diubah atau ditransformasi kedalam bentuk yang lebih abstrak atau
konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal ini
bantuan guru sangat diperlukan.
Evaluasi, kemudian kita nilai hingga manakah pengetahuan yang kita peroleh dan transformasi itu bisa dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Evaluasi, kemudian kita nilai hingga manakah pengetahuan yang kita peroleh dan transformasi itu bisa dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Dalam proses belajar, ketiga episode
selalu ada. Yang menjadi masalah ialah berapa banyak informasi yang diperlukan
agar dapat ditransformasikan. Lama tiap episode tidak selalu sama. Hal ini
antara lain juga bergantung pada hasil yang diharapkan, motivasi murid belajar,
minat, keinginan untuk mengetahui dan dorongan untuk menemukan sendiri.
Berdasarkan
teori belajar Bruner ini, kegiatan pembelajaran model Problem Based Learning ini terjadi proses penerimaan informasi berupa
masalah, lalu transformasi informasi, dan evaluasi (pengkajian informasi) yang
menghasilkan solusi dari permasalahan.
3) Teori
Konstruktivisme
Menurut teori
ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa
guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya dan memiliki peran aktif dalam
pembelajaran. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini dengan
memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka
sendiri juga mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi
mereka sendiri untuk belajar.
Basleman &
Mappa (2008, hlm. 129) mengemukakan bahwa peserta didik pada pembelajaran
konstruktivisme adalah sebagai berikut:
Peserta didik aktif dalam proses
pembelajaran; melalui pertanyaan dan penemuan oleh mereka sendiri, berinteraksi
dengan lingkungan sehingga mereka membangun pengetahuannya; belajar secara
aktif melalui kemampuan berpikir secara kritikal dan pemecahan masalah; peserta
didik menemukan isi pelajaran bermakna pada proses pembelajaran.
Jauhar (2011,
hlm. 35) mengemukakan bahwa hal yang paling penting dalam teori konstruktivisme
yakni guru harus memberikan penekanan kepada siswa, sehingga siswa aktif dalam
mengembangkan pengetahuannya melalui kegiatan-kegiatan atau pengalaman belajar
yang dilakukan. Selain itu, Jauhar juga mengemukakan tentang teori
konstruktivisme yaitu:
Beberapa hal
yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik yaitu:
a) Mengutamakan
pembelajaran yang bersifat nyata dalam konteks yang relevan
b) Mengutamakan
proses
c) Menanamkan
pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial
d) Pembelajaran
dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman
Berdasarkan
teori konstruktivisme ini, kegiatan pembelajaran model Problem Based Learning dilakukan dengan mengkonstruk
pengetahuan/pemahaman yang sudah diperoleh siswa berupa masalah yang bersifat
nyata (terdapat di lingkungan sekitar siswa).
4) Teori
Belajar Vigotsky
Teori
terakhir yang mendasari penelitian ini adalah teori belajar Vigotsky. Teori ini
menekankan pada hakikat pembelajaran sosial-kultural. Inti teori Vygotsky
adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari
pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Karena
menurutnya, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing
individu dalam konteks budaya.
Vygotsky
juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas
yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan
kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat
perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan
masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman
sebaya yang lebih mampu.
b.
Model
Problem Based Learning
Problem
Based Learning (PBL) dalam bahasa Indonesia disebut Pembelajaran Berbasis Masalah
(PBM). Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan penggunaan berbagai macam kecerdasan yang
diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata, kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu
yang baru dan kompleksitas yang ada.
Pengertian
Pembelajaran Berbasis masalah
yang lain adalah
metode mengajar dengan fokus pemecahan
masalah yang nyata, proses dimana
siswa melaksanakan
kerja kelompok,
umpan balik, diskusi
yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk
investigasi dan penyelidikan dan laporan akhir. Dengan
demikian siswa di dorong untuk lebih aktif terlibat dalam materi pembelajaran dan mengembangkan keterampilan berfikir kritis.
Pembelajaran
berbasis masalah merupakan sebuah
pendekatan pembelajaran yang
menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk
belajar. Dalam
kelas
yang
menerapkan
pembelajaran berbasis masalah, peserta didik bekerja dalam
tim untuk memecahkan masalah dunia nyata.
Dalam
PBL, pembelajaran dimulai oleh siswa. Oleh karena itu, akan timbul adanya pembelajaran mandiri. Silen
dan Uhlin (2008, hlm. 35) menyatakan bahwa rasa tanggung
jawab berdampak pada situasi
belajar adalah elemen kunci dalam pembelajaran mandiri. Pembelajaran mandiri memerlukan lingkungan belajar, karena itu lingkungan harus menyediakan ruang untuk kegiatan siswa.
Menurut
Matthews (dalam Suparno, 1997, hlm. 56) menyatakan bahwa:
Karakteristik PBL lebih mengacu pada aliran pendidikan
konstruktivisme, dimana belajar merupakan proses aktif dari pembelajaran
untuk membangun pengetahuan. Proses aktif yang dimaksud tidak hanya bersifat
secara mental tetapi juga secara fisik. Artinya, melalui aktivitas secara fisik
pengetahuan siswa secara aktif dibangun berdasarkan proses asimilasi pengalaman
atau bahan yang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki dan ini
berlangsung secara mental.
Pembelajaran
berbasis masalah digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dengan
situasi berorientasi pada masalah, termasuk didalamnya belajar bagaimana
belajar. Menurut Ibrahim dan Nur (dalam Nurhadi dkk, 2000, hlm. 2) menyatakan
bahwa pembelajaran berbasis masalah dikenal dengan nama lain seperti Project-Based
Learning (Pembelajaran Proyek), Experience-Based Education
(Pendidikan Berdasarkan Pengalaman), Authentic learning (Pembelajaran
Autentik), dan Anchored instruction (Pembelajaran berakar pada dunia
nyata).
Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah
adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan
dan dialog. Pembelajaran berbasis masalah tidak dapat dilaksanakan tanpa guru
mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide
secara terbuka secara garis besar pembelajaran berbasis masalah terdiri dari
menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat
memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukankan penyelidikan secara
inkuiri.
Menurut Dewey (dalam Rusmono, 2012, hlm. 74) sekolah merupakan laboratorium untuk pemecahan
masalah kehidupan
nyata, karena
setiap
siswa memiliki
kebutuhan untuk menyelidiki lingkungan mereka dan
membangun secara pribadi pengetahuannya.
Melalui proses tersebut, dikatakan Sanjaya (2008, hlm.
213), sedikit demi sedikit siswa akan lebih berkembang secara utuh. Baik pada
aspek kognitif, afektif dan psokomotorik.
Proses PBL mereplikasi
pendekatan sistematik yang sudah banyak
digunakan dalam menyelesaikan
masalah atau memenuhi tuntutan-tuntutan
dalam dunia kehidupan dan karir. Sintak operasional PBL bisa rmencakup antara lain sebagai berikut:
1)
Siswa disajikan suatu masalah.
2)
Siswa mendiskusikan masalah
dalam tutorial
PBL yakni dalam sebuah kelompok kecil. Mereka mengklarifikasi fakta-fakta suatu
kasus kemudian mendefinisikan sebuah masalah. Mereka membrainstorming
gagasan-gagasannya dengan berpijak pada pengetahuan sebelumnya. Kemudian, mereka mengidentifikasi apa yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan masalah serta apa yang
mereka tidak ketahui. Mereka menelaah masalah
tersebut.
Mereka juga mendesain suatu rencana
tindakan untuk menggarap
masalah.
3)
Siswa terlibat dalam studi independen untuk menyelesaikan
masalah diluar bimbingan
guru. Hal ini bisa mencakup: perpustakaan, database, website, masyarakat, dan observasi.
4)
Siswa kembali pada tutorial PBL, lalu saling sharing, informasi,
melalui peer teaching
atau cooperative learning atas masalah tertentu.
5)
Siswa menyajikan solusi
atas masalah.
6)
Siswa mereview apa yang
mereka pelajari dalam proses pengerjaan selama ini.
Semua
yang berpartisipasi dalam proses tersebut terlibat dalam
review
berpasangan, dan review berdasarkan bimbingan guru, sekaligus melakukan refleksi atas kontribusinya tehadap proses tersebut.
Rusman (2012, hlm. 243) mengemukakan
bahwa langkah- langkah Pembelajaran Berbasis Masalah adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1
Langkah-langkah Problem
Based Learning
No. se
|
Indikator
|
Tingkah Laku Guru
|
1
|
Orientasi siswa pada
masalah
|
Menjelaskan tujuan
pembelajaran,
menjelaskan logistik
yang diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah
|
2
|
Mengorganisasi siswa untuk belajar
|
Membantu siswa mendefinisikan
dan mengorganisasikan tugas belajar
yang berhubungan dengan masalah tersebut
|
3
|
Membimbing pengalaman
individual/kelompok
|
Mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen
untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan
masalah
|
4
|
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya
|
Membantu siswa dalam
merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai
seperti laporan, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
|
5
|
Menganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah
|
Membantu siswa untuk melakukan
refleksi
atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang mereka
gunakan.
|
Sedangkan dalam
proses pembelajaran, PBL berlangsung dalam enam fase,
yaitu:
1)
Fase 1: Pengajuan
permasalahan. Soal yang diajukan seperti dinyatakan sebelumnya harus tidak
terstrktur dengan baik, dalam arti untuk penyelesaiannya diperlukan informasi
atau data lebih lanjut, memungkinkan banyak cara atau jawaban, dan cukup luas
kandungan materinya.
2)
Fase 2: Apa yang
diketahui diketahui dari permasalahan? Dalam fase ini setiap anggota akan
melihat permasalahan dari segi pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya. Kelompok akan mendiskusikan dan menyepakati batasan-batasan
mengenai permasalahan tersebut, serta memilah-memilah isu-isu dan aspek-aspek
yang cukup beralasan untuk diselidiki lebih lanjut. Analisis awal ini
harus menghasilkan titik awal untuk penyelidikan dan dapat direvisi apabila
suatu asumsi dipertanyakan atau informasi baru muncul kepermukaan.
3)
Fase 3: Hal apa
yang tidak diketahui dari permasalahan. Disini anggota kelompok akan membuat
daftar pertanyaan-pertanyaan atau isu-isu pembelajaran yang harus dijawab untuk
memperjelas permasalahan. Dalam fase ini, anggota kelompok akan mengurai
permasalahan menjadi komponen-komponen, mendiskusikan implikasinya, mengajukan
berbagai penjelasan atau solusi, dan mengembangkan hipotesis kerja.
Kegiatan ini seperti fase “brainstorming” dengan evaluasi; penjelasan
atau solusi dicatat. Kelompok perlu merumuskan tujuan pembelajaran,
menentukan informasi yang dibutuhkan, dan bagaimana informasi ini diperoleh.
4)
Fase 4: Alternatif
Pemecahan. Dalam fase ini anggota kelompok akan mendiskusikan,
mengevaluasi, dan mengorganisir hipotesis dan mengubah hipotesis.
Kelompok akan membuat daftar “Apa yang
harus dilakukan?” yang mengarah kepada sumberdaya yang dibutuhkan, orang
yang akan dihubungi, artikel yang akan dibaca, dan tindakan yang perlu
dilakukan oleh para anggota. Dalam fase ini anggota kelompok akan
menentukan dan mengalokasikan tugas-tugas, mengembangkan rencana untuk
mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Informasi tersebut dapat berasal
dari dalam kelas, bahan bacaan, buku pelajaran, perpustakaan, perusahaan,
video, dan dari seorang pakar tertentu. Bila ada informasi baru, kelompok
perlu menganalisa dan mengevaluasi reliabilitas dan kegunaannya untuk
penyelesaian permasalahan yang sedang dihadapi.
5)
Fase 5: Laporan
dan Presentasi Hasil. Pada fase ini, setiap kelompok akan menulis laporan
hasil kerja kelompoknya. Laporan ini memuat hasil kerja kelompok dalam
fase-fase sebelumnya diikuti dengan alasan mengapa suatu alternatif dipilih dan
uraian tentang alternatif tersebut. Pada bagian akhir setiap kelompok
menjelaskan konsep yang terkandung dalam permasalahan yang diajukan dan
penyelesaian yang mereka ajukan. Misalnya, rumus apa yang mereka
gunakan. Laporan ini kemudian dipresentasikan dan didiskusikan dihadapan
semua siswa.
6)
Fase 6:
Pengembangan Materi. Dalam fase ini guru akan mengembangkan materi yang
akan dipelajari lebih lanjut dan mendalam dan memfasilitasi pembelajaran
berdasarkan konsep-konsep yang diajukan oleh setiap kelompok dalam laporannya.
Dengan memperhatikan kegiatan pada setiap fase, para peserta didik
menggunakan banyak waktunya untuk mendiskusikan masalah, merumuskan hipotesis,
menentukan fakta yang relevan, mencari informasi, dan mendefinisikan isi
pembelajaran itu sendiri. Tidak seperti pembelajaran tradisional, tujuan
pembelajaran dalam PBM tidak ditetapkan dimuka. Sebaliknya, setiap
anggota kelompok akan bertanggungjawab untuk membangun isi-isu atau tujuan
berdasarkan analisa kelompok tentang permasalahan yang diberikan.
3.
Multimedia
Multimedia
adalah media yang menggabungkan dua unsur atau lebih media yang terdiri dari
teks, grafis, gambar, foto, audio, video dan animasi secara terintegrasi. Penggabungan
ini merupakan suatu kesatuan yang secara bersama-sama menampilkan informasi,
pesan, atau isi pelajaran. Konsep penggabungan ini dengan sendirinya memerlukan
beberapa jenis peralatan perangkat keras yang masingmasing tetap menjalankan
fungsi utamanya sebagaimana biasanya, dan komputer merupakan pengendali seluruh
peralatan itu.
Menurut
Rosch (dalam Suyanto, 2005, hlm. 20) multimedia secara umum merupakan
kombinasi tiga elemen, yaitu suara, gambar dan teks. Media ini dapat berupa
audio (suara, musik), animasi, video, teks, grafik dan gambar.
Multimedia
terbagi menjadi dua kategori, yaitu: multimedia linier dan multimedia
interaktif. Multimedia linier adalah suatu multimedia yang tidak dilengkapi
dengan alat pengontrol apapun yang dapat dioperasikan oleh penguna. Multimedia
ini berjalan sekuensial (berurutan), contohnya: TV dan film. Multimedia
interaktif adalah suatu multimedia yang dilengkapi dengan alat pengontrol yang
dapat dioperasikan oleh pengguna, sehingga pengguna dapat memilih apa yang
dikehendaki untuk proses selanjutnya. Contoh multimedia interaktif adalah multimedia
pembelajaran interaktif, aplikasi game, dll. Sedangkan pembelajaran diartikan
sebagai proses penciptaan lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses
belajar.
Jadi
dalam pembelajaran yang utama adalah bagaimana siswa belajar. Belajar dalam
pengertian aktifitas mental siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan yang
menghasilkan perubahan perilaku yang bersifat relatif konstan. Multimedia
bertujuan untuk menyajikan informasi dalam bentuk yang menyenangkan,menarik,
mudah dimengerti, dan jelas.
Pembelajaran
berbasis multimedia ini diharapkan dapat menjadikan
siswa aktif dalam proses pembelajaran
dengan cara melibatkan secara aktif minimal indera
penglihatan
dan pendengaran siswa,
yaitu melalui teks, gambar, video, dan
suara,
sehingga dapat
menarik
perhatian siswa,
dan
memudahkan siswa dalam memahami materi pembelajaran.
4.
Hasil
Belajar Siswa
Keberhasilan
sebuah proses belajar mengajar diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang
dapat dicapai oleh siswa, disamping ukuran dari segi prosesnya. Hasil belajar
harus terlihat dalam setiap tujuan pembelajaran karena tujuan tersebut lah yang
akan dicapai dlam proses pembelajaran.
Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang
diperoleh siswa setelah mengalami aktivitas belajar. Hasil belajar berupa
perubahan perilaku atau tingkah laku seseorang yang belajar akan berubah dan
bertambah perilakunya, baik yang berupa pengetahuan, keterampilan motorik, atau
penguasaan nilai-nilai (sikap).
Howard
Kingsley (dalam Sudiana, 2005, hlm. 45) membagi tiga macam hasil belajar,
yaitu: 1) keterampilan dan kebiasaan; 2) pengetahuan dan pengertian; 3) sikap
dan cita-cita, yang masing-masing golongan dapat diisi dengan bahan yang
ditetapkan dalam kurikulum sekolah.
Yus (2005,
hlm. 19-20) menyebutkan bahwa
hasil belajar
dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah antara
lain kognitif, afektif, psikomotor. Perinciannya adalah
sebagai berikut:
a)
Ranah
kognitif
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar yang
berupa pengetahuan dan
proses kognitif. Ranah pengetahuan
meliputi pengetahuan faktual,
pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural dan pengetahuan metakognitif
sedangkan ranah proses
kognitif meliputi mengingat,
memahami, mengaplikasikan, menganalisis,
mengevaluasi dan
mencipta.
b)
Ranah
afektif
Ranah afektif
berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif
meliputi lima jenjang kemampuan yaitu
menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan
suatu nilai atau kompleks nilai.
c)
Ranah
Psikomotor
Ranah psikomotor
meliputi keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi neuromuscular (menghubungkan-mengamati).
Ranah kognitif lebih
dominan daripada afektif
dan
psikomotor karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotor dan afektif
juga harus menjadi bagian dari
hasil penilaian dalam
proses pembelajaran
di sekolah.
Berdasarkan uraian yang telah
dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah.
Hasil belajar yang baik adalah
hasil belajar yang memenuhi dan dapat mencapai tujuan belajar serta mencakup tiga
ranah kecerdasan siswa, yaitu ranah kognitif, afektif,
dan psikomotor.
Pendidikan dasar memegang peranan penting dalam usaha
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu,
maka mutu pendidikan di SD harus mendapat perhatian yang serius khususnya pada
mata pelajaran IPS. Rendahnya hasil belajar IPS disebabkan oleh berbagai
permasalahan dalam kegiatan pembelajaran diantaranya siswa masih kurang aktif
dalam proses pembelajaran dan masih banyak guru yang mengguanakan metode
ceramah disertai pengajaran teori saja yang berpusat pada buku teks tanpa menyajikan
suatu media yang bisa dihubungkan dengan masalah-masalah yang terjadi di
lingkungan sekitar siswa. Berdasarkan permasalahan tersebut maka diperlukan
adanya pembaruan dalam proses pembelajaran yaitu dengan menerapkan model Problem Based Learning (PBL).
Model pembelajaran Problem
Based Learning membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan
situasi dan permasalahan yang ada di lingkungan siswa. Dalam pembelajaran
khususnya pada mata pelajaran IPS, materi yang disampaikan guru dikaitkan
dengan kehidupan sehari-hari siswa dan diharapkan dapat meningkatkan hasil
belajar siswa.
Selain itu, dalam pembelajaran IPS banyak siswa yang
merasa jenuh ketika belajar IPS, sehingga nilai yang didapat pun rendah. Abdurrahman
(1999, hlm. 251) menyatakan bahwa banyak orang yang memandang IPS sebagai
bidang studi yang membosankan. Namun demikian, semua orang harus mempelajarinya
karena merupakan sarana memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Hal
tersebut memperlihatkan bahwa IPS sulit bagi sebagian siswa, seorang siswa
belajar IPS atas dasar keterpaksaan, bukan atas dasar minat atau keinginan
untuk lebih mendalami IPS. Sudah menjadi tanggung jawab guru dan orang tua
untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk menguasai IPS. Penguasaan unsur IPS
merupakan langkah menuju pembelajaran yang efektif, namun apa yang dipelajari
siswa tergantung pada apa yang diajarkan oleh gurunya. Guru harus memberikan
pengalaman-pengalaman yang membangun konsep-konsep dasar IPS. Guru juga harus
mampu dalam mengelola komponen-komponen pembelajaran yang kreatif dalam
mengembangkan materi-materi pelajaran, agar materi tersebut dapat dipahami
siswa.
Upaya
guru dalam meningkatkan hasil belajar diantaranya adalah menguasai dan terampil
menggunakan berbagai media dalam proses pembelajaran agar siswa dapat memahami
materi yang diajarkan. Penggunaan multimedia diperlukan karena merupakan suatu
perantara dalam menyampaikan pesan agar lebih menarik minat belajar siswa.
Multimedia dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah verbalisme pada pembelajaran,
sehingga dengan adanya multimedia tersebut
dapat membantu guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa terutama pada
mata pelajaran IPS. Salah satu materi IPS yang terdapat pada kurikulum di SD
kelas IV adalah masalah sosial. Dalam mengajarkan materi tersebut guru
hendaknya menggunakan multimedia yang dapat berupa gambar, video, dll sehingga
siswa lebih mudah memahami materi tersebut. Guna mempermudah siswa untuk
memahami konsep, guru dapat menampilkan beberapa masalah sosial yang terjadi
dimasyarakat atau lingkungan sekitar. Penggunaan multimedia bertujuan untuk
menciptakan proses belajar mengajar yang efektif dan menarik.
Setiap
proses belajar mengajar ditandai dengan adanya beberapa unsur seperti tujuan,
bahan ajar, metode, dan alat evaluasi. Unsur metode dan media merupakan unsur
yang tidak dapat dilepaskan dari unsur lain yang berfungsi sebagai cara atau
teknik untuk menyampaikan bahan pelajaran agar mencapai tujuan. Jadi,
multimedia dapat memabntu guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa, karena
semangat belajar siswa akan lebih meningkat. Tapi pada kenyataannya hingga saat
ini masih banyak guru yang belum menggunakan multimedia dalam proses
pembelajaran, meskipun fasilitas pendukungnya sudah tersedia. Hal ini
disebabkan oleh terbatasnya kemampuan guru dalam menggunakan media yang lebih
beragam. Keterbatasan tersebut mengakibatkan guru masih tetap mengguanakan
metode ceramah karena dinilai lebih mudah. Sehingga banyak siswa yang kurang
menguasai konsep-konsep dari materi yang diajarkan.
H.
HIPOTESIS TINDAKAN
Setiap
proses pembelajaran ingin mencapai tujuan yang diharapkan demi terciptanya
hasil yang lebih baik dari proses sebelumnya. Dilihat dari permasalahan diatas
dapat diambil hipotesis atau jawaban sementara yakni “Penggunaan model Problem Based Learning berbasis multimedia
dalam pembelajaran IPS dapat meningkatkan hasil belajar siswa”.
I.
PENELITIAN
YANG RELEVAN
“Penerapan
Strategi Problem Based Learning dalam
Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa”. Penelitian ini
dilakukan oleh Ani Nurdewi Karlina pada
tahun 2013 di SDN Pasirlangu III Kec. Pakenjeng Kab. Garut. Hasil penelitian
yang diperoleh berhasil meningkatkan hasil belajar dan hasil belajar siswa dari
setiap siklusnya.”
“Meningkatkan
Aktivitas Belajar Siswa Pada Pendiidkan IPS tentang Proklamasi Kemerdekaan RI
di Kelas V SD melalui Penggunaan Multimedia”. Penelitian ini dilakukan oleh
Yanti Rosmayantid pada tahun 2014 di SDN Cibiru 9 Kec. Cileunyi Kab. Bandung.
Hasil penelitian yang diperoleh berhasil meningkatkan aktivitas dan hasul
belajar siswa dengan menggunakan multimedia.”
“Penerapan Model Problem Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa
pada Materi Masalah Sosial di kelas IV SD”. Penelitian ini dilakukan oleh Sarip
Mudaim pada tahun 2014 di SDN 10 Cibiru Kec. Cileunyi Kab. Bandung. Hasil
penelitian yang diperoleh meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil
belajar siswa menggunakan model Problem
Based Learning.”
J.
METODOLOGI PENELITIAN
1.
Metode
Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas ini bersifat
kualitatif, penelitian ini akan menghasilkan data secara deskriptif dalam
bentuk laporan dan uraian.
Penelitian tidakan kelas merupakan salah satu metode
penelitian yang menempatkan guru sebagai subjek dan objek penelitian. Sebagai
subjek, guru berperan sebagai seorang peneliti dalam kegiatan penelitiannya dan
guru pun sekaligus berperan menjadi objek dimana ia juga terlibat dalam bahan
penelitiannya sendiri.
Iskandar
(2012, hlm. 23) menyatakan bahwa:
Penelitian tindakan
kelas merupakan suatu kegiatan penelitian ilmiah yang dilakukan secara
rasional, sistematis, dan empiris reflektif terhadap berbagai tindakan yang
dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai peneliti sejak disusunnya suatu
perencanaan sampai penilaian terhadap tindakan nyata di dalam kelasnya berupa
kegiatan belajar mengajar, untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi
pembelajaran yang dilakukan.
Hal serupa diungkapkan oleh Paizaludin dan Ermalinda
(2013, hlm. 8) penelitian tindakan kelas adalah sebuah penelitian yang
dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan merencanakan, melaksanakan, dan
merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan
memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa meningkat.
Dari kedua pengertian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu kegiatan berupa
tindakan-tindakan yang dilakukan guru secara sistematis (dari perencanaan
sampai penilaian) terhadap tindakan nyata dalam proses pembelajaran didalam
kelas yang bertujuan memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan tersebut.
Adapun tujuan dari penelitian tindakan kelas menrut Bahri (2012, hlm. 10) yang
menyatakan bahwa:
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
bertujuan untuk memperbaiki praktek dalam pembelajaran agar menjadi lebih
berkualitas dalam prosesnya agar hasil belajar pun dapat meningkat, secara
lebih luas PTK bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pendidikan disekolah dan
masyarakat.
Menurut Sukayati (2008, hlm. 13)
menyatakan bahwa manfaat PTK yang yang terkait dengan pembelajaran antara lain
mencakup hal-hal berikut:
a. Inovasi,
dalam hal ini guru perlu selalu mencoba, mengubah, mengembangkan, dan
meningkatkan gaya mengajarnya agar mampu merencanakan dan melaksanakan model
pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kelas dan jaman.
b. Pengembangan
kurikulum di tingkat kelas dan sekolah, PTK dapat dimanfaatkan secara efektif
oleh guru untuk mengembangkan kurikulum. Hasil-hasil PTK akan sangat bermanfaat
jika digunakan sebagai sumber masukan untuk mengembangkan kurikulum baik di
tingkat kelas maupun sekolah.
c. Peningkatan
profesionalisme guru, keterlibatan guru dalam PTK akan dapat meningkatkan
profesionalisme guru dalam proses pembelajaran. PTK merupakan salah satu cara
yang dapat digunakan oleh guru untuk memahami apa yang terjadi di kelas dan
cara pemecahannya yang dapat dilakukan.
Terdapat
lima prinsip yang harus diperhatikan sebelum menerapkan PTK dilapangan (Paizaludin
dan Ermalinda, 2013, hlm. 47-50), yaitu:
a.
Berkaitan dengan
kegiatan nyata dalam situasi rutin.
Pelaksanaan
PTK hendaknya tidak dijadwalkan khusus namun tetap seperti pembelajaran biasa.
Situasinya alami dan tidak dibuat khusus. Hal ini agar tidak mengganggu
pekerjaan guru sebagai pengajar.
b.
Adanya kesadaran
diri untuk memperbaiki kinerja.
Setiap
manusia tentu selalu berdinamika dan menginginkan sesuatu yang lebih baik. Hal
ini tentu membuatnya selalu mengevaluasi dirinya untuk memperbaiki kekurangan
yang ada pada dirinya. Terlebih lagi apabila didasari dari diri sendiri. Begitu
pula dengan PTK, hendaknya permasalahan yang timbul itu memang dirasakan
sendiri dan ada kesadaran dalam diri untuk memperbaikinya.
c.
SWOT sebagai
dasar berpijak
PTK
harus dimulai dengan melakukan analisis SWOT (Strength Weaknesses Oppurtunity Threat) yang artinya kekuatan,
kelemahan, kesempatan, dan ancaman. Dengan menganalisis keempat aspek tersebut
diharapkan dapat menentukan tindakan secara tepat.
d.
Upaya empiris
dan sistemik
Prinsip
ini merupakan penerapan dari prinsip ketiga tadi. Setelah melakukan analisis
SWOT tadi tentu ketika melakukan PTK guru sudah mengikuti prinsip-prinsip dan
sistemik, berpijak pada unsur-unsur yang terkait dengan keseluruhan sistem.
e.
Menjalankan
prinsip SMART dalam perencanaan
SMART
adalah singkatan dari Specific
(khusus), Managable (dapat dikelola),
Acceptable (dapat diterima
lingkungan), Realistic (tidak di luar
jangkauan) dan Time-bound
(terencana). Maksudnya ketika guru menyusun rencana tindakan PTK hendaknya
khusus spesifik, mudah dilakukan, tindakan yang dilakukan dapat diterima dengan
baik oleh subjek (siswa), tidak menyimpang dari kenyataan, dan waktunya
terencana.
2.
Desain
Penelitian
Dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode penelitian tidakan kelas (classroom-based action research). Abidin (2011, hlm. 217)
menyatakan bahwa penelitian tindakan kelas pada dasarnya adalah penelitian yang
dilakukan untuk memecahkan masalah, mengkaji langkah pemecahan masalah itu
sendiri, dan atau memperbaiki proses pembelajaran secara berulang atau
bersiklus.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah
PTK model Elliot (Paizaludin dan Ermalinda, 2013 hlm. 32). Alasan pemilihan
model Elliot ini karena model ini lebih rinci dalam pelaksanaannya. Hal tersebut
terlihat dari setiap siklusnya yang terdiri dari beberapa tindakan sehingga
terdapat kelancaran yang lebih tinggi di dalam setiap pelaksanaan tindakan atau
proses belajar mengajar. Selain itu, kompleksnya materi pelajaran yang akan
diajarkan ketika penelitian sehingga tidak dapat dibelajarkan langsung secara
keseluruhan mengingat menjadi alasan
lain dalam pengambilan model ini. Dalam penelitian ini terdiri dari tiga
siklus. Setiap siklus dalam penelitian dilakukan tiga tindakan, sehingga total
keseluruhan tindakan berjumlah sembilan tindakan.
Identifikasi
Masalah
|
Memeriksa
Di lapangan
(Reconnaissance)
|
Perencanaan
|
Langkah/Tindakan
2
|
Langkah/Tindakan
1
|
Langkah/Tindakan
3
|
Observasi/Pengaruh
|
Reconnaissance
Diskusi Kegagalan dan Pengaruhnya/Refleksi
|
Observasi/Pengaruh
|
Reconnaissance
Diskusi Kegagalan dan Pengaruhnya/ Refleksi
|
Observasi/Pengaruh
|
Reconnaissance
Diskusi Kegagalan dan Pengaruhnya/Refleksi
|
Pelakssanaan
Langkah/Tindakan 1
|
Revisi
Perencanaan
|
Rencana Baru
|
Langkah/Tindakan
1
|
Langkah/Tindakan
2
|
Langkah/Tindakan
3
|
Pelaksanaan
Langkah/Tindakan Selanjutnya
|
Revisi
Perencanaan
|
Rencana Baru
|
Langkah/Tindakan
1
|
Langkah/Tindakan
2
|
Langkah/Tindakan
3
|
Pelaksanaan
Langkah/Tindakan Selanjutnya
|
SIKLUS1
|
Siklus2
|
Siklus 3
|
Bagan 1
Desain PTK Model John Elliot (Wiriaatmadja, 2012, hlm. 64)
3.
Lokasi
dan Subjek Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di kelas IV SD Rancakasumba
Kecamatan Rancasari Kota Bandung
4.
Definisi
Operasional
Untuk
memberikan kemudahan mengenai istilah-istilah yang terdapat di dalam judul
penelitian ini, maka peneliti memberikan batasan mengenai istilah-istilah
tersebut secara opersional sebagai berikut:
a.
Pembelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Pembelajaran IPS
khususnya di sekolah dasar merupakan nama mata
pelajaran yang berdiri sendiri sebagai integrasi dari sejumlah konsep disiplin
ilmu sosial, humaniora, sains bahkan berbagai isu dan masalah sosial kehidupan.
Materi IPS untuk jenjang sekolah dasar tidak terlihat aspek disiplin ilmu
karena lebih dipentingkan adalah dimensi pedagogik dan psikologis serta
karakteristik kemampuan berpikir peserta didik yang bersifat holistik.
b.
Model
Problem Based Learning
PBL
adalah metode
mengajar dengan fokus pemecahan
masalah yang nyata, proses dimana
siswa melaksanakan
kerja kelompok,
umpan balik, diskusi
yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk
investigasi dan penyelidikan dan laporan akhir.Dengan
demikian siswa di dorong untuk lebih aktif terlibat dalam materi pembelajaran dan mengembangkan keterampilan berfikir kritis.
c.
Multimedia
Multimedia
adalah kombinasi dari berbagai jenis media digital,
seperti teks, gambar, suara, dan video, ke aplikasi interaktif terintegrasi
multiindrawi atau presentasi untuk menyampaikan pesan atau informasi
kepada audiens. Pembelajaran berbasis multimedia ini diharapkan dapat menjadikan
siswa aktif dalam proses pembelajaran
dengan cara melibatkan secara aktif minimal indera
penglihatan
dan pendengaran siswa,
yaitu melalui teks, gambar, video, dan
suara,
sehingga dapat
menarik
perhatian siswa,
dan
memudahkan siswa dalam memahami materi pembelajaran.
d.
Hasil
Belajar
Hasil
belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh siswa setelah mengalami
aktivitas belajar. Hasil belajar berupa perubahan perilaku atau tingkah laku
seseorang yang belajar akan berubah dan bertambah perilakunya, baik yang berupa
pengetahuan, keterampilan motorik, atau penguasaan nilai-nilai (sikap).
5.
Instrumen
Penelitian
Dalam
penelitian ini, untuk mendapatkan data yang autentik peneliti menggunakan
beberapa instrumen penelitian. Instrumen penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini diantaranya sebagai berikut:
a.
Lembar Observasi
Lembar
observasi adalah instrumen yang digunakan dalam kegiatan observasi (mengamati
langsung). Jenis observasi yang digunakan ini adalah observasi berstruktur,
karena sepenuhnya menggunakan pedoman lembar observasi ini. Lembar ini
digunakan untuk mengamati aktivitas guru dan siswa ketika di kelas pada saat
proses pembelajaran khususnya mengukur afektif, psikomotor, dan aktivitas siswa
ketika penelitian.
b.
Pengetesan
Teknik
pengetesan yang meupakan alat ukur aktivitas siswa ini digunakan untuk
melakukan penilaian kemampuan anak dalam pembelajaran. Pengetesan ini berbentuk
lembar kerja siswa (LKS) dan lembar evaluasi.
c.
Angket
Angket
adalah seperangkat pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk wawancara secara
tertulis. Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai minat
(afektif) siswa terhadap pembelajaran yang dilakukan siswa. Angket ini lebih
efektif digunakan daripada wawancara lisan yang membutuhkan waktu lama.
d.
Pedoman
wawancara
Wawancara
merupakan suatu bentuk evaluasi jenis non-tes yang dilakukan melalui percakapan
tanya jawab, baik langsung maupun tidak langsung dengan siswa. Wawancara
dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai respon siswa terhadap
pembelajaran yang berlangsung. Wawancara tersebut dijabarkan dalam bentuk
pedoman wawancara guna mendapatkan data dari sudut pandang lain sebagai bukti
otentik dalam penelitian ini.
e.
Lembar Catatan
Lapangan
Lembar
catatan lapangan adalah catatan yang
memuat semua kejadian yang terjadi pada saat proses pembelajaran berlangsung,
baik itu memuat apa yang di dengar, dialami, dan dipikirkan dari awal
pembelajaran sampai akhir pembelajaran. Hampir sama dengan lembar observasi,
namun tidak terstruktur seperti lembar observasi.
f.
Kamera
Kamera
adalah alat yang digunakan sebagai dokumentasi kejadian baik itu video maupun
foto.
6.
Teknik
pengumpulan Data
Adapun
teknik pengumpulan datanya yaitu:
a.
Observasi
(pengamatan)
Observasi adalah proses mengamati langsung situasi
kelas penelitian. Teknik ini digunakan untuk mengamati dari dekat dalam upaya
mencari dan menggali data melalui pengamatan secara langsung dan mendalam
terhadap subjek dan objek yang diteliti (Paizaludin dan Ermalinda, 2013, hlm.
113).
b.
Evaluasi
Evaluasi adalah teknik pengumpulan data melalui
pemberian soal-soal evaluasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa.
Evaluasi dilakukan setiap akhir tindakan.
c.
Angket
Angket merupakan
teknik pengumpulan data melalui wawancara tertulis. Angket berisi sejumlah
pertanyaan untuk mengetahui minat siswa terhadap pembelajaran yang dilakukan.
d.
Wawancara
Wawancara merupakan percakapan antara dua pihak,
yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan
jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan. Dalam penelitian ini yang menjadi
pewawancara adalah peneliti dan yang menjadi terwawancara adalah objek
penelitian yaitu siswa. Pelaksanaan wawancara disertai dengan lembar wawancara
yang telah disusun sebelumnya. Teknik wawancara digunakan untuk melengkapi
data-data berupa 1) respon siswa terhadap pembelajaran, 2) respon kesulitan
siswa terhadap pembelajaran.
e.
Catatan Lapangan
Catatan lapangan
adalah teknik pengumpulan data melalui catatan-catatan kecil mengenai hasil
temuan ketika pembelajaran berlangsung.
Catatan ini dapat berisi temuan-temuan di luar rencana.
f.
Dokumentasi
Dokumentasi
adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data baik
catatan penting, buku, atau dokumentasi yang berhubungan dengan objek peneliti.
Bentuk dokumentasi yang dapat digunakan dalam penelitian ini berupa buku materi
pelajaran dan foto saat pembelajaran berlangsung. Foto-foto tersebut dapat
memberikan gambaran penelitian kepada pembaca secara fakta.
7.
Teknik
Analisis Data
Data yang terkumpul tidak akan bermakna tanpa
dianalisis. Oleh karena itu data yang sudah diperoleh kemudian diolah dan
diinterpretasikan untuk mengetahui hasil penelitian yang telah dilakukan.
Sugiyono (2012, hlm. 244) mengemukakan bahwa:
Analisis data
adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari
hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang
akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri
sendiri maupun orang lain.
Dalam proses analisis ini, semua
data yang dikumpulkan melalui instrumen penelitian kemudian diorganisasikan dan
dijabarkan ke dalam suatu pola. Pada kegiatan ini pula dilakukan uji hipotesis
penelitan.
Kunandar (2008, hlm. 127) menyebutkan ada dua jenis data yang
diperoleh dalam PTK, yaitu:
a.
Data kuantitatif
Data ini dianalisis dengan cara statistik
deskriptif, yakni mencari nilai rerata dan persentase keberhasilan belajar.
Analisis data kuantitatif digunakan untuk menentukan peningkatan hasil belajar
siswa sebagai pengaruh dari setiap tindakan yang dilakukan guru. Dalam hal ini
pengaruh tersebut adalah penerapan model problem
based learning. Data kuantitatif terdiri dari proses dan hasil belajar
siswa yang diolah dengan mencari rata-rata pada setiap tindakannya. Adapun
penilaian menurut Nana Sudjana (2012, hlm. 109) berikut.
Keterangan :
∑X = Jumlah nilai
N = Jumlah siswa
b.
Data kualitatif
Data kualitatif, yaitu data yang berupa informasi
berbentuk kalimat yang menggambarkan tentang ekspresi siswa berkaitan dengan
aktivitas siswa selama mengikuti pelajaran, perhatian, antusias dalam belajar,
sikap siswa terhadap model pembelajaran baru yang diterapkan, dan motivasi
belajar siswa. Analisis data kualitatif digunakan untuk menentukan peningkatan
aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Data kualitatif terdiri dari hasil
observasi, angket, dan catatan lapangan. Data tersebut diolah melalui teknik
analisis deskriptif yang nantinya akan menghasilkan deskripsi berupa uraian.
8.
Jadwal
Penelitian
No.
|
Tahapan Penelitian
|
Bulan Ke-
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
||
1.
|
Penyusunan proposal
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Seminar proposal
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Pelaksanaan siklus I
Tindakan 1
Tindakan II
Tindakan III
|
|
|
|
|
|
|
4.
|
Pelaksanaan siklus II
Tindakan I
Tindakan II
Tindakan III
|
|
|
|
|
|
|
5.
|
Pelaksanaan siklus III
Tindakan I
Tindakan II
Tindakan III
|
|
|
|
|
|
|
6.
|
Penyusunan draft laporan
|
|
|
|
|
|
|
7.
|
Penyusunan laporan
|
|
|
|
|
|
|
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin,
Y. (2011). Penelitian pendidikan dalam
Gamitan Pendidikan Dasar dan PAUD. Bandung: Rizky Press.
Ariani,
N., & Haryanto, D. (2010). Pembelajaran Multimedia di Sekolah:
Pedoman Pembelajaran Inspiratif,
Konstruktif, dan Prospektif. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Dahar,
R, W. (2010). Teori-teori Belajar &
Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Departemen Pendidikan Nasional.
(2003). Undang-undang Republik Indonesia
nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: CV.
Eka Jaya.
Gilbert,
D. (2002). Multimedia Technology. Queensland: University of
Queensland.
Huda,
M. (2013). Model-model Pengajaran dan
Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Finkle,
S, L. & Torp, L,L. (1995). Introductory Documents.
Illinois Math and Science Academy.
Ibrahim,
M. & Nur, M. (2000). Pengajaran
Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA.
Jauhar,
M. (2011). Implementasi PAIKEM dari
Behavioristik sampai Konstruktivis. Jakarta: Prestasi Pustaka
Loyens,
S, M, M. & Kirschner, P, A. (2011). Problem
Based Learning. [Online]. Diakses dari http://ru.ouw.edu.au.
Rusman.
(2012). Model-model Pembelajaran.
Jakarta: PT. Raja Grasindo Persada.
Rusmono. (2012).
Strategi Pembelajaran dengan Problem
Based Learning itu Perlu untuk Meningkatkan Profesionalitas Guru. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Paizaludin.
& Ermalinda. (2012). PTK: Panduan
Teoritis dan Praktis. Bandung: Alfabeta.
Sanjaya,
W. (2008). Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Sapriya.
(2012). Pendidikan IPS:
Konsep dan Pembelajaran. Bandung: Rosda.
Sardjiyo.,
Sugandi, D., & Ischak. (2008). Pendidikan
IPS di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Sudjana, N.
(2012). Penilaian Hasil Proses Belajar
Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sukardi.
(2013). Metode Penelitian Pendidikan
Tindakan Kelas: Implementasi dan Pengembangannya. Yogyakarta: Sinar Grafika
Offset.
Susanto, A. (2014).
Pengembangan Pembelajaran IPS di Sekolah
Dasar. Jakarta: Prenadamedia Group.
Suyanto,
M. (2005). Multimedia Alat untuk
Meningkatkan Kemampuan Bersaing. Yogyakarta: Andi.
Sutirman.
2013. Media & Model-model
Pembelajaran Inovatif. Jakarta: Grafindo Media Pratama..
Universitas
Pendidikan Indonesia. (2015). Pedoman
Karya Tulis Ilmiah. Bandung: UPI.