Selasa, 06 Desember 2016

Proposal PTK

A.      JUDUL PENELITIAN
PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN IPS

B.       LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan suatu fondasi yang berperan sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa. Bisa dikatakan bahwa bangsa yang maju tidak akan tercipta jika tanpa pendidikan yang baik. Pada dasarnya, pendidikan dilakukan untuk mewariskan, mengubah, dan menambah pengetahuan, pengalaman, sikap, perilaku dan keterampilan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pendidikan juga memiliki tujuan sebagai titik tolak dalam perjalanannya. Sebuah pendidikan akan selalu di arahkan pada sebuah tujuan yang dapat membawa sebuah fungsi kebermanfaatan. Berdasarkan hal tersebut sebagai pendidik tentulah kita harus mengetahui konsep, fungsi dan tujuan pendidikan di negara ini dengan kefleksibelan yang akan membawa kita ke taraf kehidupan yang lebih baik di era globalisasi ini.
Pengertian pendidikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (2010, hlm. 3) ialah:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian, keverdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara.

Adapun fungsi dan tujuan pendidikan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang  menegaskan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan memiliki fungsi penting dalam pengembangan kemampuan dan pembentukan generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas dan terampil secara akademik tapi juga memiliki akhlak yang mulia serta bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa dan negaranya menuju arah yang lebih baik. Oleh karena itu, melalui pendidikan manusia dididik untuk menjadi manusia seutuhnya yang memiliki peran sebagai makhluk individu, sosial dan susila.
Kualitas pendidikan, yang utama ditentukan oleh proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar tersebut, guru memegang peran yang penting, seorang guru harus mampu mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik dan mampu mengekspresikan ide-ide dan kretivitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Oleh karena itu, guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan, khususnya di sekolah (Depdiknas, 2008, hlm. 1).
Pendidikan ditempuh secara berjenjang, mulai dari jenjang TK/PAUD, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Pendidikan di SD adalah salah satu pendidikan paling awal dan dasar bagi peserta didik. Oleh karena itu, penanaman karakter yang mumpuni beserta pemberian ilmu pengetahuan dapat diberikan pada anak melalui berbagai pelajaran di sekolah. Salah satunya dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Pembelajaran IPS di SD bersifat teoritis dan praktis yang berguna bagi diri dan kehidupan peserta didik dimasa kini maupun masa yang akan datang.
Mengenai tujuan ilmu pengetahuan sosial, para ahli sering mengaitkannya dengan berbagai sudut kepentingan dan penekanan dari program pendidikan tersebut. Waterwroth (2007, hlm. 5) menyebutkan bahwa tujuan social studies (IPS) adalah untuk mempersiapkan siswa menjadi warga negara  yang baik dalam kehidupannya di masyarakat, dimana secara tegas ia mengatakan "to prepare students to be well-functioning citizens in a democratic society". Tujuan lain dari IPS adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa menggunakan penalaran dalam mengambil keputusan setiap persoalan yang dihadapinya. Hasan (2007, hlm. 24) mengatakan bahwa tujuan dari IPS adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan nilai peserta didik sebagai individu maupun sosial dan budaya. Ilmu pengetahuan sosial juga membahas hubungan antara manusia dengan lingkungannya, yaitu lingkungan masyarakat dimana anak didik tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat, dan dihadapkan pada berbagai permasalahan yang ada dan terjadi di lingkungan sekitarnya.
Pola pembelajaran IPS di SD hendaknya lebih menekankan pada unsur pendidikan dan pembekalan pemahaman, nilai-moral, dan keterampilan-keterampilan sosial pada siswa. Untuk itu, penekanan pembelajarannya bukan sebatas pada upaya mencekoki atau menjejali siswa dengan sejumlah konsep yang bersifat hapalan belaka, melainkan terletak pada upaya menjadikan siswa memiliki seperangkat pengetahuan, sikap, nilai, dan keterampilan agar mereka mampu menjadikan apa yang telah dipelajarinya sebagai bekal dalam memahami dan ikut serta dalam melakoni kehidupan masyarakat  lingkungannya, serta sebagai bekal bagi dirinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kegiatan evaluasi dilaksanakan untuk mengukur dan menilai keberhasilan proses pembelajaran, khususnya hasil belajar siswa. Rendahnya hasil belajar siswa khususnya pada mata pelajaran IPS disebabkan oleh beberapa faktor, seperti proses pembelajaran yang masih berpusat pada guru (teacher centered) dan metode ceramah menjadi pilihan utama guru dalam menyampaikan materi. Penggunaan metode yang tidak variatif cenderung menciptakan iklim belajar yang tidak maksimal dan membosankan. Selain strategi pembelajaran yang berpusat pada guru, muatan pembelajaran yang disampaikan pun cenderung hanya berisikan teori dan tidak memiliki kaitan dengan dunia nyata atau lingkungan sekitas siswa (tidak kontekstual).
Berdasarkan kondisi tersebut, guru harus cermat dalam memilih model pembelajaran dan merancang program serta strategi pembelajaran, sehingga pembelajaran yang dilakukannya menjadi pembelajaran yang menarik, aktual, dan fungsional bagi siswa. Pemilihan model  pembelajaran oleh guru mempunyai dampak yang sangat esensial bagi perolehan belajar siswa.
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model Problem Based Learning (PBL) atau Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Model ini berisikan permasalahan nyata sebagai konteks untuk para peserta didik belajar berfikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah, dan memperoleh pengetahuan.
Finkle dan Torp (1995, hlm. 72) menyatakan bahwa:
PBM merupakan pengembangan kurikulum dan sistem pengajaran yang mengembangkan secara simultan strategi pemecahan masalah dan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan dengan menempatkan para peserta didik dalam peran aktif sebagai pemecah permasalahan sehari-hari yang tidak terstruktur dengan baik. 

Definisi di atas mengandung arti bahwa PBL atau PBM merupakan setiap suasana pembelajaran yang diarahkan oleh suatu permasalahan sehari-hari dimana siswa menjadi subjek yang berperan memecahkan masalah. Pembelajaran  berbasis  masalah  merupakan  sebuah  pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik   untuk   belajar.   Dalam   kelas   yang  menerapkan   pembelajara berbasis masalah, peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata.
Adapun masalah umum yang sering dihadapi oleh siswa dan guru khususnya siswa  masih cukup banyak yang belum dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan. Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan hasil belajar tersebut mengalami kegagalan dalam bidang akademik baik faktor-faktor yang berada dalam diri siswa maupun faktor-faktor yang berada diluar diri siswa seperti tingkat intelegensi yang rendah, kurangnya motivasi belajar, cara belajar yang kurang efektif, minimnya frekuensi dan jumlah waktu belajar, tingkat disiplin diri yang rendah, media belajar atau bahan ajar yang masih kurang disediakan pihak sekolah dan sebagainya. Demi mencapai prestasi belajar yang memuaskan tersebut dengan sistem pendidikan  yang semakin maju dan didukung juga perkembangan teknologi. Teknologi multimedia telah menjanjikan potensi besar dalam merubah cara seseorang untuk belajar, untuk memperoleh informasi, menyesuaikan informasi dan sebagainya.
Pembelajaran yang disertai dengan multimedia juga menyediakan peluang bagi guru untuk mengembangkan teknik pembelajaran sehingga menghasilkan hasil yang maksimal. Demikian juga bagi siswa, dengan multimedia diharapkan mereka akan lebih mudah untuk menentukan dengan apa dan bagaiamana siswa  dapat menyerap informasi secara cepat dan efisien. Sumber informasi tidak lagi terfokus pada teks dari buku semata-mata tetapi lebih luas dari itu. Kemampuan teknologi multimedia yang semakin baik dan berkembang akan menambah kemudahan dalam mendapatkan pengetahuan siswa.
Berdasaran uraian latar belakang diatas, peneliti merasa perlu menggunakan model Problem Based Learning sebagai alternatif model pembelajaran IPS di SD dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa dan menunjang keberhasilan pembelajaran IPS.

C.      IDENTIFIKASI MASALAH
Proses pembelajaran IPS dilapangan terlihat kurang mengaitkan materi pembelajaran dengan lingkugan sekitar atau keadaan yang nyata yang terjadi di lingkungan tempat siswa berada. Sehingga hasil pembelajaran yang dilakukan siswa disekolah menjadi kurang aplikatif dengan kehidupan sehari-hari. Kemudian saat pembelajaran berlangsung, siswa cenderung diberikan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang tidak melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Sehingga kreativitas dan kemampuan berpikir siswa kurang berkembang jika digunakan untuk memecahkan suatu masalah. Disamping itu, proses pembelajaran masih konvensional dan berpusat pada guru yang mengakibatkan kurangnya interaksi dalam pembelajaran. Dampak lain yang timbul yakni kurangnya antusiasme siswa karena pembelajaran yang membosankan dan membuat mereka jenuh. Faktor kurang optimalnya pembelajaran tersebut mengakibatkan hasil belajar yang dicapai siswa masih rendah.

D.      RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan dalam proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana proses pembelajaran IPS dengan menggunakan Model Problem Based Learning berbasis multimedia?
2.      Bagaimana hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS menggunakan Model Problem Based Learning berbasis multimedia?

E.       TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui pembelajaran IPS menggunakan Problem Based Learning berbasis multimedia yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV sekolah dasar. Adapun rumusan penelitiannya adalah:
1.      Untuk mengetahui proses pembelajaran IPS dengan menggunakan Model Problem Based Learning berbasis multimedia.
2.      Untuk mengetahui peningkatan kemampuan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS dengan menggunakan Model Problem Based Learning berbasis multimedia.

F.       MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan harapan memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis penelitian ini berguna untuk menambah khazanah mengenai Model Problem Based Learning berbasis multimedia untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam Pembelajaran IPS.
Secara praktis penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak sebagai berikut.
1.      Guru, sebagai alternatif pemecahan masalah yang digunakan untuk mengembangkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS.
2.      Siswa, sebagai sarana meningkatkan hasil belajar serta kreativitas dalam pembelajaran IPS dan kehidupan sehari-hari.
3.      Sekolah, menciptakan lulusan memiliki kesiapan secara akademis maupun moral dalam mengadapi tuntutan zaman.
4.      Secara umum, untuk meningkatkan mutu pendidikan serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif.

G.      KAJIAN PUSTAKA
1.      Hakikat Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Sekolah Dasar
Salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar adalah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Menurut Sardjiyo dkk (2008, hlm. 27) menyatakan bahwa IPS merupakan bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala dan masalah sosial di masyarakat dengan meninjau dari berbagai aspek kehidupan atau suatu perpaduan.
Sumaatmaja (Istianti, 2007, hlm. 48) menyatakan bahwa Ilmu  sosial merupakan suatu bidang keilmuan yang mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
Berdasarkan pendapat dari para ahli diatas terdapat kesamaan yang menyatakan bahwa merupakan suatu bidang studi yang mempelajari manusia sebagai bagian dari anggota masyarakat dimana timbul berbagai gejala dan masalah sosial didalamnya.
IPS sebagai suatu progam pendidikan tidak hanya menyajikan tentang konsep-konsep pengetahuan semata, namun harus pula mampu membina siswa menjadi warga Negara dan warga masyarakat yang tahu akan hak dan kewajibannya, yang juga memiliki atas kesejahteraan bersama yang seluas-luasnya. Oleh karena itu siswa yang dibina melalui IPS tidak hanya memiliki pengetahuan dan kemampuan berfikir tinggi, namun peserta didik diharapkan pula memiliki kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi terhadap diri dan lingkungannya.
Sebagai bidang pengetahuan, ruang lingkup IPS dapat terlihat nyata dari tujuannnya. Di sepanjang sejarahnya selama ini IPS memiliki 5 tujuan yang penjelasannya sebagai berikut:
a.       Mempersiapkan siswa untuk studi lanjut dibidang social sciences seperti sejarah, geografi, ekonomi dan antropologi budaya.
b.      Mendidik siswa agar meiliki wawasan budaya dan sosial yang baik. Mata pelajaran yang disajikan oleh guru sekaligus harus ditempatkan dalam konteks budaya melalui pengolahan secara ilmiah dan psikologis yang tepat.
c.       Mempelajari masalah-masalah sosial yang bahannya menyangkut macam-macam pengetahuan dari ekonomi sampai politik, dari yang sosial sampai budaya. Dengan cara ini, siswa dilatih berfikir demokratis
Menurut Sapriya (2012, hlm. 20) menyatakan bahwa:
Pembelajaran IPS di sekolah dasar merupakan nama mata pelajaran yang berdiri sendiri sebagai integrasi dari sejumlah konsep disiplin ilmu sosial, humaniora, sains bahkan berbagai isu dan masalah sosial kehidupan. Materi IPS untuk jenjang sekolah dasar tidak terlihat aspek disiplin ilmu karena lebih dipentingkan adalah dimensi pedagogik dan psikologis serta karakteristik kemampuan berpikir peserta didik yang bersifat holistik.

Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk mempersiapkan siswa agar siap menerima ilmu yang lebih mendalam, memiliki wawasan budaya dan sosial yang baik, serta mempelajari masalah-masalah sosial yang ada disekitarnya. Pembelajaran IPS di sekolah dasar diharapkan mampu membentuk siswa yang memiliki social awareness terhadap gejala atau kejadian sosial yang ada disekitarnya, serta memberikan kontribusi positif dalam kehidupan masyarakat demokratis.
2.      Model Problem Based Learning
a.      Landasan Teori
Model pembelajaran Problem Based Learning memiliki beberapa landasaran teori. Adapun landasan teori yang peneliti kaji diantaranya adalah sebagai berikut:
1)      Teori Belajar Bermakna David Ausubel
Ausubel (dalam Rusman, 2012, hlm. 244) membedakan antara belajar bermakna dengan belajar menghafal. Belajar bermakna merupakan proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal diperlukan bila seseorang memerlukan informasi baru dalam pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan yang telah diketahuinya.
Inti teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna (meaningful learning). Belajar bermakna merupakan suatu proses untuk mengaitkan informasi baru dengan konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Dalam menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, guru dianjurkan untuk mengetahui terlebih dahulu kondisi awal siswa. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa ada satu faktor yang sangat mempengaruhi belajar, yaitu pengetahuan yang telah diterima siswa.
Kaitan dengan kegiatan Problem Based Learning dalam hal mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa.
2)      Teori Belajar Jerome S. Bruner
Menurut Bruner, dalam proses belajar dapat dibedakan tiga fase atau episode, yakni informasi, transformasi, evaluasi (pengkajian pengetahuan). Informasi, dalam tiap pelajaran kita peroleh sejumlah informasi ada yang menambah pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang memperhalus dan memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya, misalnya bahwa tidak ada energi yang lenyap.
Transformasi, informasi itu harus dianalisis diubah atau ditransformasi kedalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan.
Evaluasi, kemudian kita nilai hingga manakah pengetahuan yang kita peroleh dan transformasi itu bisa dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Dalam proses belajar, ketiga episode selalu ada. Yang menjadi masalah ialah berapa banyak informasi yang diperlukan agar dapat ditransformasikan. Lama tiap episode tidak selalu sama. Hal ini antara lain juga bergantung pada hasil yang diharapkan, motivasi murid belajar, minat, keinginan untuk mengetahui dan dorongan untuk menemukan sendiri.
Berdasarkan teori belajar Bruner ini, kegiatan pembelajaran model Problem Based Learning ini  terjadi proses penerimaan informasi berupa masalah, lalu transformasi informasi, dan evaluasi (pengkajian informasi) yang menghasilkan solusi dari permasalahan.
3)      Teori Konstruktivisme
Menurut teori ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya dan memiliki peran aktif dalam pembelajaran. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini dengan memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri juga mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Basleman & Mappa (2008, hlm. 129) mengemukakan bahwa peserta didik pada pembelajaran konstruktivisme adalah sebagai berikut:
Peserta didik aktif dalam proses pembelajaran; melalui pertanyaan dan penemuan oleh mereka sendiri, berinteraksi dengan lingkungan sehingga mereka membangun pengetahuannya; belajar secara aktif melalui kemampuan berpikir secara kritikal dan pemecahan masalah; peserta didik menemukan isi pelajaran bermakna pada proses pembelajaran.

Jauhar (2011, hlm. 35) mengemukakan bahwa hal yang paling penting dalam teori konstruktivisme yakni guru harus memberikan penekanan kepada siswa, sehingga siswa aktif dalam mengembangkan pengetahuannya melalui kegiatan-kegiatan atau pengalaman belajar yang dilakukan. Selain itu, Jauhar juga mengemukakan tentang teori konstruktivisme yaitu:
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik yaitu:
a)      Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam konteks yang relevan
b)      Mengutamakan proses
c)      Menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial
d)     Pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman
Berdasarkan teori konstruktivisme ini, kegiatan pembelajaran model Problem Based Learning dilakukan dengan mengkonstruk pengetahuan/pemahaman yang sudah diperoleh siswa berupa masalah yang bersifat nyata (terdapat di lingkungan sekitar siswa).
4)      Teori Belajar Vigotsky
Teori terakhir yang mendasari penelitian ini adalah teori belajar Vigotsky. Teori ini menekankan pada hakikat pembelajaran sosial-kultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Karena menurutnya, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya.
Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
b.      Model Problem Based Learning
Problem Based Learning (PBL) dalam bahasa Indonesia disebut Pembelajaran  Berbasis  Masalah  (PBM).  Pembelajaran  Berbasis  Masalah merupakan penggunaan berbagai macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata, kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitas yang ada.
Pengertian   Pembelajaran   Berbasis   masalah   yang  lain  adalah  metode mengajar dengan fokus pemecahan  masalah  yang nyata, proses dimana  siswa melaksanakan  kerja kelompok, umpan balik, diskusi yang dapat berfungsi sebagai  batu loncatan  untuk investigasi  dan penyelidikan  dan laporan akhir. Dengan  demikian siswa di dorong untuk lebih aktif terlibat dalam materi pembelajaran dan mengembangkan keterampilan berfikir kritis.
Pembelajaran  berbasis  masalah  merupakan  sebuah  pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik   untuk   belajar.   Dalam   kelas   yang  menerapkan   pembelajara berbasis masalah, peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata.
Dalam PBL, pembelajaran dimulai oleh siswa. Oleh karena itu, akan timbul adanya pembelajaran mandiri. Silen dan Uhlin (2008, hlm. 35) menyatakan bahwa rasa tanggung jawab berdampak pada situasi belajar adalah elemen kunci dalam pembelajaran mandiri. Pembelajaran mandiri memerlukan  lingkungan belajar, karena itu lingkungan harus menyediakan ruang untuk kegiatan siswa.
Menurut Matthews (dalam Suparno, 1997, hlm. 56) menyatakan bahwa:
Karakteristik PBL lebih mengacu pada aliran pendidikan konstruktivisme, dimana belajar merupakan proses aktif  dari pembelajaran untuk membangun pengetahuan. Proses aktif yang dimaksud tidak hanya bersifat secara mental tetapi juga secara fisik. Artinya, melalui aktivitas secara fisik pengetahuan siswa secara aktif dibangun berdasarkan proses asimilasi pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengetahuan  yang telah dimiliki dan ini berlangsung secara mental.

Pembelajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dengan situasi berorientasi pada masalah, termasuk didalamnya belajar bagaimana belajar. Menurut Ibrahim dan Nur (dalam Nurhadi dkk, 2000, hlm. 2) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah dikenal dengan nama lain seperti Project-Based Learning (Pembelajaran Proyek), Experience-Based Education (Pendidikan Berdasarkan Pengalaman), Authentic learning (Pembelajaran Autentik), dan Anchored instruction (Pembelajaran berakar pada dunia nyata).
 Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Pembelajaran berbasis masalah tidak dapat dilaksanakan tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka secara garis besar pembelajaran berbasis masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukankan penyelidikan secara inkuiri.
Menurut Dewey   (dalam   Rusmono, 2012, hlm. 74 sekola merupaka laboratoriu untuk pemecahan  masalah  kehidupan  nyata,  karena  setiasiswmemiliki  kebutuhan untuk menyelidiki lingkungan mereka dan membangun secara pribadi pengetahuannya.
Melalui proses tersebut, dikatakan Sanjaya (2008, hlm. 213), sedikit demi sedikit siswa akan lebih berkembang secara utuh. Baik pada aspek kognitif, afektif dan psokomotorik.
Prose PBL   mereplikasi   pendekatan   sistematik   yan sudah banyak digunakan dalam menyelesaikan masalah atau memenuhi tuntutan-tuntutan dalam dunia kehidupan dan karir. Sintak operasional PBL bisa rmencakup antara lain sebagai berikut:
1)      Siswa disajikan suatu masalah.
2)      Siswa mendiskusikan masalah dalam tutorial PBL yakni dalam sebuah kelompok kecil. Mereka   mengklarifikasi    fakta-fakta    suatu kasus kemudian mendefinisikan sebuah masalah. Mereka membrainstorming gagasan-gagasannya dengan berpijak pada pengetahuan sebelumnya. Kemudian,  mereka  mengidentifikasi  apa  yang mereka  butuhkan  untuk menyelesaikan masalah serta apa yang mereka tidak ketahui. Mereka menelaa masalah   tersebut.   Mereka   juga  mendesain   suatu  rencana tindakan untuk menggarap masalah.
3)      Siswa terlibat  dalam  studi  independen   untuk  menyelesaikan masalah  diluar bimbingan  guru. Hal ini bisa mencakup:  perpustakaan, database, website, masyarakat, dan observasi.
4)      Siswa kembali pada tutorial PBL, lalu saling sharing, informasi, melalui peer teaching atau cooperative learning atas masalah tertentu.
5)      Siswa  menyajikan solusi atas masalah.
6)      Siswa mereview  apa  yang  mereka  pelajari  dalam proses  pengerjaan selama  ini.  Semua  yang  berpartisipasi  dalam  proses  tersebut  terlibat dalam  review  berpasangan,  dan  review  berdasarkan  bimbingan  guru, sekaligus melakukan refleksi atas kontribusinya tehadap proses tersebut.
Rusman (2012, hlm. 243)  mengemukakan  bahwa langkah- langkah Pembelajaran Berbasis Masalah adalah sebagai berikut:







Tabel 2.1
Langkah-langkah Problem Based Learning
No. se
Indikator
Tingkah Laku Guru
1
Orientasi siswa pada
masalah
Menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan logistik yang diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah
2
Mengorganisasi siswa untuk belajar
Membantu siswa mendefinisikan
dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
3
Membimbing pengalaman
individual/kelompok
Mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
4
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya
Membantu siswa dalam
merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
5
Menganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah
Membantu siswa untuk melakukan
refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang mereka gunakan.
Sedangkan dalam proses pembelajaran, PBL berlangsung dalam enam fase, yaitu:
1)      Fase 1: Pengajuan permasalahan. Soal yang diajukan seperti dinyatakan sebelumnya harus tidak terstrktur dengan baik, dalam arti untuk penyelesaiannya diperlukan informasi atau data lebih lanjut, memungkinkan banyak cara atau jawaban, dan cukup luas kandungan materinya.
2)      Fase 2: Apa yang diketahui diketahui dari permasalahan?  Dalam fase ini setiap anggota akan melihat permasalahan dari segi pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.  Kelompok akan mendiskusikan dan menyepakati batasan-batasan mengenai permasalahan tersebut, serta memilah-memilah isu-isu dan aspek-aspek yang cukup beralasan untuk diselidiki lebih lanjut.  Analisis awal ini harus menghasilkan titik awal untuk penyelidikan dan dapat direvisi apabila suatu asumsi dipertanyakan atau informasi baru muncul kepermukaan.
3)      Fase 3: Hal apa yang tidak diketahui dari permasalahan. Disini anggota kelompok akan membuat daftar pertanyaan-pertanyaan atau isu-isu pembelajaran yang harus dijawab untuk memperjelas permasalahan.  Dalam fase ini, anggota kelompok akan mengurai permasalahan menjadi komponen-komponen, mendiskusikan implikasinya, mengajukan berbagai penjelasan atau solusi, dan mengembangkan hipotesis kerja.  Kegiatan ini seperti fase “brainstorming” dengan evaluasi; penjelasan atau solusi dicatat.  Kelompok perlu merumuskan tujuan pembelajaran, menentukan informasi yang dibutuhkan, dan bagaimana informasi ini diperoleh.
4)      Fase 4: Alternatif Pemecahan.  Dalam fase ini anggota kelompok akan mendiskusikan, mengevaluasi, dan mengorganisir hipotesis dan mengubah hipotesis.  Kelompok akan membuat daftar “Apa yang harus dilakukan?” yang mengarah kepada sumberdaya yang dibutuhkan, orang yang akan dihubungi, artikel yang akan dibaca, dan tindakan yang perlu dilakukan oleh para anggota.  Dalam fase ini anggota kelompok akan menentukan dan mengalokasikan tugas-tugas, mengembangkan rencana untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan.  Informasi tersebut dapat berasal dari dalam kelas, bahan bacaan, buku pelajaran, perpustakaan, perusahaan, video, dan dari seorang pakar tertentu.  Bila ada informasi baru, kelompok perlu menganalisa dan mengevaluasi reliabilitas dan kegunaannya untuk penyelesaian permasalahan yang sedang dihadapi.
5)      Fase 5: Laporan dan Presentasi Hasil.  Pada fase ini, setiap kelompok akan menulis laporan hasil kerja kelompoknya.  Laporan ini memuat hasil kerja kelompok dalam fase-fase sebelumnya diikuti dengan alasan mengapa suatu alternatif dipilih dan uraian tentang alternatif tersebut.  Pada bagian akhir setiap kelompok menjelaskan konsep yang terkandung dalam permasalahan yang diajukan dan penyelesaian yang mereka ajukan.  Misalnya, rumus apa yang mereka gunakan.  Laporan ini kemudian dipresentasikan dan didiskusikan dihadapan semua siswa.
6)      Fase 6: Pengembangan Materi.  Dalam fase ini guru akan mengembangkan materi yang akan dipelajari lebih lanjut dan mendalam dan memfasilitasi pembelajaran berdasarkan konsep-konsep yang diajukan oleh setiap kelompok dalam laporannya.
Dengan memperhatikan kegiatan pada setiap fase, para peserta didik menggunakan banyak waktunya untuk mendiskusikan masalah, merumuskan hipotesis, menentukan fakta yang relevan, mencari informasi, dan mendefinisikan isi pembelajaran itu sendiri.  Tidak seperti pembelajaran tradisional, tujuan pembelajaran dalam PBM tidak ditetapkan dimuka.  Sebaliknya, setiap anggota kelompok akan bertanggungjawab untuk membangun isi-isu atau tujuan berdasarkan analisa kelompok tentang permasalahan yang diberikan.
3.      Multimedia
Multimedia adalah media yang menggabungkan dua unsur atau lebih media yang terdiri dari teks, grafis, gambar, foto, audio, video dan animasi secara terintegrasi. Penggabungan ini merupakan suatu kesatuan yang secara bersama-sama menampilkan informasi, pesan, atau isi pelajaran. Konsep penggabungan ini dengan sendirinya memerlukan beberapa jenis peralatan perangkat keras yang masingmasing tetap menjalankan fungsi utamanya sebagaimana biasanya, dan komputer merupakan pengendali seluruh peralatan itu.
Menurut  Rosch (dalam Suyanto, 2005, hlm. 20) multimedia secara umum merupakan kombinasi tiga elemen, yaitu suara, gambar dan teks. Media ini dapat berupa audio (suara, musik), animasi, video, teks, grafik dan gambar.
Multimedia terbagi menjadi dua kategori, yaitu: multimedia linier dan multimedia interaktif. Multimedia linier adalah suatu multimedia yang tidak dilengkapi dengan alat pengontrol apapun yang dapat dioperasikan oleh penguna. Multimedia ini berjalan sekuensial (berurutan), contohnya: TV dan film. Multimedia interaktif adalah suatu multimedia yang dilengkapi dengan alat pengontrol yang dapat dioperasikan oleh pengguna, sehingga pengguna dapat memilih apa yang dikehendaki untuk proses selanjutnya. Contoh multimedia interaktif adalah multimedia pembelajaran interaktif, aplikasi game, dll. Sedangkan pembelajaran diartikan sebagai proses penciptaan lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar.
Jadi dalam pembelajaran yang utama adalah bagaimana siswa belajar. Belajar dalam pengertian aktifitas mental siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan perilaku yang bersifat relatif konstan. Multimedia bertujuan untuk menyajikan informasi dalam bentuk yang menyenangkan,menarik, mudah dimengerti, dan jelas.
Pembelajaran berbasis multimedia  ini  diharapkan dapat menjadikan   sisw akti dalam proses pembelajaran dengan cara melibatkan secara aktif minimal indera  penglihatan  dan  pendengaran siswa, yaitu melalui teks, gambar, video, dan    suara,    sehingga    dapat    menarik perhatian siswa,  dan memudahkan siswa dalam memahami materi pembelajaran.
4.      Hasil Belajar Siswa
Keberhasilan sebuah proses belajar mengajar diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dapat dicapai oleh siswa, disamping ukuran dari segi prosesnya. Hasil belajar harus terlihat dalam setiap tujuan pembelajaran karena tujuan tersebut lah yang akan dicapai dlam proses pembelajaran.
Hasil    belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh siswa setelah mengalami aktivitas belajar. Hasil belajar berupa perubahan perilaku atau tingkah laku seseorang yang belajar akan berubah dan bertambah perilakunya, baik yang berupa pengetahuan, keterampilan motorik, atau penguasaan nilai-nilai (sikap).
Howard Kingsley (dalam Sudiana, 2005, hlm. 45) membagi tiga macam hasil belajar, yaitu: 1) keterampilan dan kebiasaan; 2) pengetahuan dan pengertian; 3) sikap dan cita-cita, yang masing-masing golongan dapat diisi dengan bahan yang ditetapkan dalam kurikulum sekolah.
Yus  (2005, hlm. 19-20) menyebutkan  bahwa  hasil  belajar  dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain kognitif, afektif, psikomotor. Perinciannya adalah sebagai berikut:
a)      Ranah kognitif
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar yang berupa pengetahuan dan proses kognitif. Ranah pengetahuan meliputi pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural dan pengetahuan metakognitif sedangkan ranah proses kognitif meliputi mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta.
b)     Ranah afektif
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai.
c)      Ranah Psikomotor
Ranah psikomotor meliputi keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi neuromuscular (menghubungkan-mengamati). Ranah kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa   hasil   belaja merupaka tingka keberhasila siswa   dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah. Hasil belajar yang baik adalah hasil belajar yang memenuhi dan dapat mencapai tujuan belajar serta mencakup tiga ranah kecerdasan siswa, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Pendidikan dasar memegang peranan penting dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, maka mutu pendidikan di SD harus mendapat perhatian yang serius khususnya pada mata pelajaran IPS. Rendahnya hasil belajar IPS disebabkan oleh berbagai permasalahan dalam kegiatan pembelajaran diantaranya siswa masih kurang aktif dalam proses pembelajaran dan masih banyak guru yang mengguanakan metode ceramah disertai pengajaran teori saja yang berpusat pada buku teks tanpa menyajikan suatu media yang bisa dihubungkan dengan masalah-masalah yang terjadi di lingkungan sekitar siswa. Berdasarkan permasalahan tersebut maka diperlukan adanya pembaruan dalam proses pembelajaran yaitu dengan menerapkan model Problem Based Learning (PBL).
Model pembelajaran Problem Based Learning membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dan permasalahan yang ada di lingkungan siswa. Dalam pembelajaran khususnya pada mata pelajaran IPS, materi yang disampaikan guru dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa dan diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Selain itu, dalam pembelajaran IPS banyak siswa yang merasa jenuh ketika belajar IPS, sehingga nilai yang didapat pun rendah. Abdurrahman (1999, hlm. 251) menyatakan bahwa banyak orang yang memandang IPS sebagai bidang studi yang membosankan. Namun demikian, semua orang harus mempelajarinya karena merupakan sarana memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa IPS sulit bagi sebagian siswa, seorang siswa belajar IPS atas dasar keterpaksaan, bukan atas dasar minat atau keinginan untuk lebih mendalami IPS. Sudah menjadi tanggung jawab guru dan orang tua untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk menguasai IPS. Penguasaan unsur IPS merupakan langkah menuju pembelajaran yang efektif, namun apa yang dipelajari siswa tergantung pada apa yang diajarkan oleh gurunya. Guru harus memberikan pengalaman-pengalaman yang membangun konsep-konsep dasar IPS. Guru juga harus mampu dalam mengelola komponen-komponen pembelajaran yang kreatif dalam mengembangkan materi-materi pelajaran, agar materi tersebut dapat dipahami siswa.
Upaya guru dalam meningkatkan hasil belajar diantaranya adalah menguasai dan terampil menggunakan berbagai media dalam proses pembelajaran agar siswa dapat memahami materi yang diajarkan. Penggunaan multimedia diperlukan karena merupakan suatu perantara dalam menyampaikan pesan agar lebih menarik minat belajar siswa. Multimedia dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah verbalisme pada pembelajaran, sehingga dengan adanya multimedia tersebut  dapat membantu guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa terutama pada mata pelajaran IPS. Salah satu materi IPS yang terdapat pada kurikulum di SD kelas IV adalah masalah sosial. Dalam mengajarkan materi tersebut guru hendaknya menggunakan multimedia yang dapat berupa gambar, video, dll sehingga siswa lebih mudah memahami materi tersebut. Guna mempermudah siswa untuk memahami konsep, guru dapat menampilkan beberapa masalah sosial yang terjadi dimasyarakat atau lingkungan sekitar. Penggunaan multimedia bertujuan untuk menciptakan proses belajar mengajar yang efektif dan menarik.
Setiap proses belajar mengajar ditandai dengan adanya beberapa unsur seperti tujuan, bahan ajar, metode, dan alat evaluasi. Unsur metode dan media merupakan unsur yang tidak dapat dilepaskan dari unsur lain yang berfungsi sebagai cara atau teknik untuk menyampaikan bahan pelajaran agar mencapai tujuan. Jadi, multimedia dapat memabntu guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa, karena semangat belajar siswa akan lebih meningkat. Tapi pada kenyataannya hingga saat ini masih banyak guru yang belum menggunakan multimedia dalam proses pembelajaran, meskipun fasilitas pendukungnya sudah tersedia. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan guru dalam menggunakan media yang lebih beragam. Keterbatasan tersebut mengakibatkan guru masih tetap mengguanakan metode ceramah karena dinilai lebih mudah. Sehingga banyak siswa yang kurang menguasai konsep-konsep dari materi yang diajarkan.

H.      HIPOTESIS TINDAKAN
Setiap proses pembelajaran ingin mencapai tujuan yang diharapkan demi terciptanya hasil yang lebih baik dari proses sebelumnya. Dilihat dari permasalahan diatas dapat diambil hipotesis atau jawaban sementara yakni “Penggunaan model Problem Based Learning berbasis multimedia dalam pembelajaran IPS dapat meningkatkan hasil belajar siswa”.

I.       PENELITIAN YANG RELEVAN
“Penerapan Strategi Problem Based Learning dalam Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa”. Penelitian ini dilakukan oleh Ani Nurdewi Karlina  pada tahun 2013 di SDN Pasirlangu III Kec. Pakenjeng Kab. Garut. Hasil penelitian yang diperoleh berhasil meningkatkan hasil belajar dan hasil belajar siswa dari setiap siklusnya.”
“Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa Pada Pendiidkan IPS tentang Proklamasi Kemerdekaan RI di Kelas V SD melalui Penggunaan Multimedia”. Penelitian ini dilakukan oleh Yanti Rosmayantid pada tahun 2014 di SDN Cibiru 9 Kec. Cileunyi Kab. Bandung. Hasil penelitian yang diperoleh berhasil meningkatkan aktivitas dan hasul belajar siswa dengan menggunakan multimedia.”
 “Penerapan Model Problem Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa pada Materi Masalah Sosial di kelas IV SD”. Penelitian ini dilakukan oleh Sarip Mudaim pada tahun 2014 di SDN 10 Cibiru Kec. Cileunyi Kab. Bandung. Hasil penelitian yang diperoleh meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa menggunakan model Problem Based Learning.”

J.        METODOLOGI PENELITIAN
1.      Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas ini bersifat kualitatif, penelitian ini akan menghasilkan data secara deskriptif dalam bentuk laporan dan uraian.
Penelitian tidakan kelas merupakan salah satu metode penelitian yang menempatkan guru sebagai subjek dan objek penelitian. Sebagai subjek, guru berperan sebagai seorang peneliti dalam kegiatan penelitiannya dan guru pun sekaligus berperan menjadi objek dimana ia juga terlibat dalam bahan penelitiannya sendiri.
Iskandar (2012, hlm. 23) menyatakan bahwa:
Penelitian tindakan kelas merupakan suatu kegiatan penelitian ilmiah yang dilakukan secara rasional, sistematis, dan empiris reflektif terhadap berbagai tindakan yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai peneliti sejak disusunnya suatu perencanaan sampai penilaian terhadap tindakan nyata di dalam kelasnya berupa kegiatan belajar mengajar, untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi pembelajaran yang dilakukan.

Hal serupa diungkapkan oleh Paizaludin dan Ermalinda (2013, hlm. 8) penelitian tindakan kelas adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa meningkat.
Dari kedua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu kegiatan berupa tindakan-tindakan yang dilakukan guru secara sistematis (dari perencanaan sampai penilaian) terhadap tindakan nyata dalam proses pembelajaran didalam kelas yang bertujuan memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan tersebut.
Adapun tujuan dari penelitian tindakan kelas menrut Bahri (2012, hlm. 10) yang menyatakan bahwa:
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) bertujuan untuk memperbaiki praktek dalam pembelajaran agar menjadi lebih berkualitas dalam prosesnya agar hasil belajar pun dapat meningkat, secara lebih luas PTK bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pendidikan disekolah dan masyarakat.

Menurut Sukayati (2008, hlm. 13) menyatakan bahwa manfaat PTK yang yang terkait dengan pembelajaran antara lain mencakup hal-hal berikut:
a.       Inovasi, dalam hal ini guru perlu selalu mencoba, mengubah, mengembangkan, dan meningkatkan gaya mengajarnya agar mampu merencanakan dan melaksanakan model pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kelas dan jaman.
b.      Pengembangan kurikulum di tingkat kelas dan sekolah, PTK dapat dimanfaatkan secara efektif oleh guru untuk mengembangkan kurikulum. Hasil-hasil PTK akan sangat bermanfaat jika digunakan sebagai sumber masukan untuk mengembangkan kurikulum baik di tingkat kelas maupun sekolah.
c.       Peningkatan profesionalisme guru, keterlibatan guru dalam PTK akan dapat meningkatkan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran. PTK merupakan salah satu cara yang dapat digunakan oleh guru untuk memahami apa yang terjadi di kelas dan cara pemecahannya yang dapat dilakukan.
Terdapat lima prinsip yang harus diperhatikan sebelum menerapkan PTK dilapangan (Paizaludin dan Ermalinda, 2013, hlm. 47-50), yaitu:
a.    Berkaitan dengan kegiatan nyata dalam situasi rutin.
Pelaksanaan PTK hendaknya tidak dijadwalkan khusus namun tetap seperti pembelajaran biasa. Situasinya alami dan tidak dibuat khusus. Hal ini agar tidak mengganggu pekerjaan guru sebagai pengajar.
b.    Adanya kesadaran diri untuk memperbaiki kinerja.
Setiap manusia tentu selalu berdinamika dan menginginkan sesuatu yang lebih baik. Hal ini tentu membuatnya selalu mengevaluasi dirinya untuk memperbaiki kekurangan yang ada pada dirinya. Terlebih lagi apabila didasari dari diri sendiri. Begitu pula dengan PTK, hendaknya permasalahan yang timbul itu memang dirasakan sendiri dan ada kesadaran dalam diri untuk memperbaikinya.
c.    SWOT sebagai dasar berpijak
PTK harus dimulai dengan melakukan analisis SWOT (Strength Weaknesses Oppurtunity Threat) yang artinya kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman. Dengan menganalisis keempat aspek tersebut diharapkan dapat menentukan tindakan secara tepat.
d.   Upaya empiris dan sistemik
Prinsip ini merupakan penerapan dari prinsip ketiga tadi. Setelah melakukan analisis SWOT tadi tentu ketika melakukan PTK guru sudah mengikuti prinsip-prinsip dan sistemik, berpijak pada unsur-unsur yang terkait dengan keseluruhan sistem.
e.    Menjalankan prinsip SMART dalam perencanaan
SMART adalah singkatan dari Specific (khusus), Managable (dapat dikelola), Acceptable (dapat diterima lingkungan), Realistic (tidak di luar jangkauan) dan Time-bound (terencana). Maksudnya ketika guru menyusun rencana tindakan PTK hendaknya khusus spesifik, mudah dilakukan, tindakan yang dilakukan dapat diterima dengan baik oleh subjek (siswa), tidak menyimpang dari kenyataan, dan waktunya terencana.
2.      Desain Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian tidakan kelas (classroom-based action research). Abidin (2011, hlm. 217) menyatakan bahwa penelitian tindakan kelas pada dasarnya adalah penelitian yang dilakukan untuk memecahkan masalah, mengkaji langkah pemecahan masalah itu sendiri, dan atau memperbaiki proses pembelajaran secara berulang atau bersiklus.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah PTK model Elliot (Paizaludin dan Ermalinda, 2013 hlm. 32). Alasan pemilihan model Elliot ini karena model ini lebih rinci dalam pelaksanaannya. Hal tersebut terlihat dari setiap siklusnya yang terdiri dari beberapa tindakan sehingga terdapat kelancaran yang lebih tinggi di dalam setiap pelaksanaan tindakan atau proses belajar mengajar. Selain itu, kompleksnya materi pelajaran yang akan diajarkan ketika penelitian sehingga tidak dapat dibelajarkan langsung secara keseluruhan mengingat  menjadi alasan lain dalam pengambilan model ini. Dalam penelitian ini terdiri dari tiga siklus. Setiap siklus dalam penelitian dilakukan tiga tindakan, sehingga total keseluruhan tindakan berjumlah sembilan tindakan.
Identifikasi Masalah
Memeriksa
Di lapangan (Reconnaissance)

Perencanaan
Langkah/Tindakan 2
Langkah/Tindakan 1
Langkah/Tindakan 3
Observasi/Pengaruh
Reconnaissance Diskusi Kegagalan dan Pengaruhnya/Refleksi
Observasi/Pengaruh
Reconnaissance Diskusi Kegagalan dan Pengaruhnya/ Refleksi
Observasi/Pengaruh
Reconnaissance Diskusi Kegagalan dan Pengaruhnya/Refleksi
Pelakssanaan Langkah/Tindakan 1
Revisi Perencanaan
Rencana Baru
Langkah/Tindakan 1
Langkah/Tindakan 2
Langkah/Tindakan 3
Pelaksanaan Langkah/Tindakan Selanjutnya
Revisi Perencanaan
Rencana Baru
Langkah/Tindakan 1
Langkah/Tindakan 2
Langkah/Tindakan 3
Pelaksanaan Langkah/Tindakan Selanjutnya
SIKLUS1
Siklus2
Siklus 3

Bagan 1
  Desain PTK Model John Elliot (Wiriaatmadja, 2012, hlm. 64)

3.      Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di kelas IV SD Rancakasumba Kecamatan Rancasari Kota Bandung
4.      Definisi Operasional
Untuk memberikan kemudahan mengenai istilah-istilah yang terdapat di dalam judul penelitian ini, maka peneliti memberikan batasan mengenai istilah-istilah tersebut secara opersional sebagai berikut:
a.      Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial  (IPS)
Pembelajaran IPS khususnya di sekolah dasar merupakan nama mata pelajaran yang berdiri sendiri sebagai integrasi dari sejumlah konsep disiplin ilmu sosial, humaniora, sains bahkan berbagai isu dan masalah sosial kehidupan. Materi IPS untuk jenjang sekolah dasar tidak terlihat aspek disiplin ilmu karena lebih dipentingkan adalah dimensi pedagogik dan psikologis serta karakteristik kemampuan berpikir peserta didik yang bersifat holistik.
b.      Model Problem Based Learning
PBL adalah  metode mengajar dengan fokus pemecahan  masalah  yang nyata, proses dimana  siswa melaksanakan  kerja kelompok, umpan balik, diskusi yang dapat berfungsi sebagai  batu loncatan  untuk investigasi  dan penyelidikan  dan laporan akhir.Dengan  demikian siswa di dorong untuk lebih aktif terlibat dalam materi pembelajaran dan mengembangkan keterampilan berfikir kritis.
c.       Multimedia
Multimedia adalah   kombinasi   dari berbagai jenis media digital, seperti teks, gambar, suara, dan video, ke aplikasi interaktif terintegrasi multiindrawi atau presentasi untuk menyampaikan  pesan atau informasi kepada audiens. Pembelajaran berbasis multimedia  ini  diharapkan dapat menjadikan   sisw akti dalam proses pembelajaran dengan cara melibatkan secara aktif minimal indera  penglihatan  dan  pendengaran siswa, yaitu melalui teks, gambar, video, dan    suara,    sehingga    dapat    menarik perhatian siswa,  dan memudahkan siswa dalam memahami materi pembelajaran.
d.      Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh siswa setelah mengalami aktivitas belajar. Hasil belajar berupa perubahan perilaku atau tingkah laku seseorang yang belajar akan berubah dan bertambah perilakunya, baik yang berupa pengetahuan, keterampilan motorik, atau penguasaan nilai-nilai (sikap).
5.      Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan data yang autentik peneliti menggunakan beberapa instrumen penelitian. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya sebagai berikut:
a.       Lembar Observasi
Lembar observasi adalah instrumen yang digunakan dalam kegiatan observasi (mengamati langsung). Jenis observasi yang digunakan ini adalah observasi berstruktur, karena sepenuhnya menggunakan pedoman lembar observasi ini. Lembar ini digunakan untuk mengamati aktivitas guru dan siswa ketika di kelas pada saat proses pembelajaran khususnya mengukur afektif, psikomotor, dan aktivitas siswa ketika penelitian.
b.      Pengetesan
Teknik pengetesan yang meupakan alat ukur aktivitas siswa ini digunakan untuk melakukan penilaian kemampuan anak dalam pembelajaran. Pengetesan ini berbentuk lembar kerja siswa (LKS) dan lembar evaluasi. 
c.       Angket
Angket adalah seperangkat pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk wawancara secara tertulis. Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai minat (afektif) siswa terhadap pembelajaran yang dilakukan siswa. Angket ini lebih efektif digunakan daripada wawancara lisan yang membutuhkan waktu lama.
d.      Pedoman wawancara
Wawancara merupakan suatu bentuk evaluasi jenis non-tes yang dilakukan melalui percakapan tanya jawab, baik langsung maupun tidak langsung dengan siswa. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai respon siswa terhadap pembelajaran yang berlangsung. Wawancara tersebut dijabarkan dalam bentuk pedoman wawancara guna mendapatkan data dari sudut pandang lain sebagai bukti otentik dalam penelitian ini.
e.       Lembar Catatan Lapangan
Lembar catatan lapangan adalah  catatan yang memuat semua kejadian yang terjadi pada saat proses pembelajaran berlangsung, baik itu memuat apa yang di dengar, dialami, dan dipikirkan dari awal pembelajaran sampai akhir pembelajaran. Hampir sama dengan lembar observasi, namun tidak terstruktur seperti lembar observasi.
f.       Kamera
Kamera adalah alat yang digunakan sebagai dokumentasi kejadian baik itu video maupun foto.
6.      Teknik pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan datanya yaitu:
a.    Observasi (pengamatan)
Observasi adalah proses mengamati langsung situasi kelas penelitian. Teknik ini digunakan untuk mengamati dari dekat dalam upaya mencari dan menggali data melalui pengamatan secara langsung dan mendalam terhadap subjek dan objek yang diteliti (Paizaludin dan Ermalinda, 2013, hlm. 113).
b.    Evaluasi
Evaluasi adalah teknik pengumpulan data melalui pemberian soal-soal evaluasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa. Evaluasi dilakukan setiap akhir tindakan.
c.    Angket
Angket merupakan teknik pengumpulan data melalui wawancara tertulis. Angket berisi sejumlah pertanyaan untuk mengetahui minat siswa terhadap pembelajaran yang dilakukan.
d.   Wawancara
Wawancara merupakan percakapan antara dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan. Dalam penelitian ini yang menjadi pewawancara adalah peneliti dan yang menjadi terwawancara adalah objek penelitian yaitu siswa. Pelaksanaan wawancara disertai dengan lembar wawancara yang telah disusun sebelumnya. Teknik wawancara digunakan untuk melengkapi data-data berupa 1) respon siswa terhadap pembelajaran, 2) respon kesulitan siswa terhadap pembelajaran.
e.    Catatan Lapangan
Catatan lapangan adalah teknik pengumpulan data melalui catatan-catatan kecil mengenai hasil temuan ketika pembelajaran berlangsung.  Catatan ini dapat berisi temuan-temuan di luar rencana.
f.     Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data baik catatan penting, buku, atau dokumentasi yang berhubungan dengan objek peneliti. Bentuk dokumentasi yang dapat digunakan dalam penelitian ini berupa buku materi pelajaran dan foto saat pembelajaran berlangsung. Foto-foto tersebut dapat memberikan gambaran penelitian kepada pembaca secara fakta.
7.      Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul tidak akan bermakna tanpa dianalisis. Oleh karena itu data yang sudah diperoleh kemudian diolah dan diinterpretasikan untuk mengetahui hasil penelitian yang telah dilakukan. Sugiyono (2012, hlm. 244) mengemukakan bahwa:
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

              Dalam proses analisis ini, semua data yang dikumpulkan melalui instrumen penelitian kemudian diorganisasikan dan dijabarkan ke dalam suatu pola. Pada kegiatan ini pula dilakukan uji hipotesis penelitan.
                        Kunandar (2008, hlm. 127) menyebutkan ada dua jenis data yang diperoleh dalam PTK, yaitu:
a.       Data kuantitatif
Data ini dianalisis dengan cara statistik deskriptif, yakni mencari nilai rerata dan persentase keberhasilan belajar. Analisis data kuantitatif digunakan untuk menentukan peningkatan hasil belajar siswa sebagai pengaruh dari setiap tindakan yang dilakukan guru. Dalam hal ini pengaruh tersebut adalah penerapan model problem based learning. Data kuantitatif terdiri dari proses dan hasil belajar siswa yang diolah dengan mencari rata-rata pada setiap tindakannya. Adapun penilaian menurut Nana Sudjana (2012, hlm. 109) berikut.
Keterangan :
            = Rata – rata (mean)
∑X         = Jumlah nilai
N            = Jumlah siswa

b.      Data kualitatif
Data kualitatif, yaitu data yang berupa informasi berbentuk kalimat yang menggambarkan tentang ekspresi siswa berkaitan dengan aktivitas siswa selama mengikuti pelajaran, perhatian, antusias dalam belajar, sikap siswa terhadap model pembelajaran baru yang diterapkan, dan motivasi belajar siswa. Analisis data kualitatif digunakan untuk menentukan peningkatan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Data kualitatif terdiri dari hasil observasi, angket, dan catatan lapangan. Data tersebut diolah melalui teknik analisis deskriptif yang nantinya akan menghasilkan deskripsi berupa uraian.





8.      Jadwal Penelitian
No.
Tahapan Penelitian
Bulan Ke-
1
2
3
4
5
6
1.
Penyusunan proposal






2.
Seminar proposal






3.
Pelaksanaan siklus I
Tindakan 1
Tindakan II
Tindakan III






4.
Pelaksanaan siklus II
Tindakan I
Tindakan II
Tindakan III






5.
Pelaksanaan siklus III
Tindakan I
Tindakan II
Tindakan III






6.
Penyusunan draft laporan






7.
Penyusunan laporan












DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Y. (2011). Penelitian pendidikan dalam Gamitan Pendidikan Dasar dan PAUD. Bandung: Rizky Press.
Ariani, N., & Haryanto, D. (2010). Pembelajaran Multimedia di Sekolah: Pedoman Pembelajaran Inspiratif, Konstruktif, dan Prospektif. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Dahar, R, W. (2010). Teori-teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: CV. Eka Jaya.
Gilbert, D. (2002). Multimedia Technology. Queensland: University of  Queensland.
Huda, M. (2013). Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Finkle, S, L. & Torp, L,L. (1995). Introductory Documents. Illinois Math and Science Academy.
Ibrahim, M. & Nur, M. (2000). Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA.
Jauhar, M. (2011). Implementasi PAIKEM dari Behavioristik sampai Konstruktivis. Jakarta: Prestasi Pustaka
Loyens, S, M, M. & Kirschner, P, A. (2011). Problem Based Learning. [Online]. Diakses dari http://ru.ouw.edu.au.
Rusman. (2012). Model-model Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grasindo Persada.
Rusmono. (2012). Strategi Pembelajaran dengan Problem Based Learning itu Perlu untuk Meningkatkan Profesionalitas Guru. Bogor: Ghalia Indonesia.
Paizaludin. & Ermalinda. (2012). PTK: Panduan Teoritis dan Praktis. Bandung: Alfabeta.
Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Sapriya. (2012). Pendidikan IPS: Konsep dan Pembelajaran. Bandung: Rosda.
Sardjiyo., Sugandi, D., & Ischak. (2008). Pendidikan IPS di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Sudjana, N. (2012). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sukardi. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Tindakan Kelas: Implementasi dan Pengembangannya. Yogyakarta: Sinar Grafika Offset.
Susanto, A. (2013). Teori Belajar & Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Prenadamedia Group.
Susanto, A. (2014). Pengembangan Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Jakarta: Prenadamedia Group.
Suyanto, M. (2005). Multimedia Alat untuk Meningkatkan Kemampuan Bersaing. Yogyakarta: Andi.
Sutirman. 2013. Media & Model-model Pembelajaran Inovatif. Jakarta: Grafindo Media Pratama..

Universitas Pendidikan Indonesia. (2015). Pedoman Karya Tulis Ilmiah. Bandung: UPI.