Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti
bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia berarti paham atau aliran.
Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam
Pannen dkk, 2001:3). Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan
bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam
belajar secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan
yang lebih tinggi (Slavin dalam Yusuf, 2003). Tran Vui juga mengatakan bahwa
teori konstruktivisme adalah
sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau
mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau
kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain. Sedangkan
menurut Martin. Et. Al (dalam Gerson
Ratumanan, 2002) mengemukakan bahwa konstruktivisme menekankan pentingnya
setiap siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling
mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan belajar baru. Selanjutnya,
Wikipedia (2008:1) menurunkan definisi ialah: “constructivism may be considered an epistemology ( a philosophical
framework or theory of learning ) which argues humans construct meaning from
current knowledge structures” artinya, konstruktivisme dapat dipandang sebagai
suatu epistimologi (kerangka filosofis atau teori belajar) yang mengkaji
manusia dalam membangun makna dari struktur pengetahuan terkini.
Konstruktivisme merupakan paradigma alternatif yang muncul
sebagai dampak dari revolusi ilmiah yang teradi dalam beberapa dasawarsa
terakhir (Kuhn dalam Pannen dkk. 2000:1). Pendekatan konstruktivisme menjadi
landasan terhadap berbagai seruan dan kecenderungan yang muncul dalam dunia
pembelajaran, seperti perlunya siswa berpartisipasi aktif dalam proses
pembelajaran, perlunya siswa mengembangkan kemampuan belajar mandiri, perlunya
siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri, serta
perlunya pengajar berperan menjadi fasilitator, mediator dan manajer dari
proses pembelajaran.
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Gimbatissta Vico,
epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970,
Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan
berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari
ciptaan” . Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti mengetahui bagaimana
membuat sesuatu. Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep
yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa
pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak
pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama
gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang
mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses
belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi
gagasan Vico.
Untuk
menjawab bagaimana kita dapat memperoleh pengetahuan? Kaum konstruktivis
menyatakan bahwa kita dapat mengetahui sesuatu melalui indera kita. Dengan
berinteraksi terhadap obyek dan lingkungannya melalui proses melihat,
mendengar, menjamah, membau, merasakan dan lain-lainnya orang dapat mengetahui
sesuatu. Misalnya, dengan mengamati pasir, bermain dengan pasir, seorang anak
membentuk pengetahuannya akan pasir. Bagi kaum konstruktivis, pengetahuan itu
bukanlah suatu yang sudah pasti, tetapi merupakan suatu proses menjadi.
Misalnya, pengetahuan kita akan “anjing” mulai dibentuk sejak kita masih kecil
bertemu dengan anjing. Pengetahuan itu makin lengkap, disaat kita makin banyak
berinteraksi dengan anjing yang bermacam-macam.
Sedangkan
menurut von Glaserfeld, tokoh konstruktivisme di Amerika Serikat, pengetahuan
bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran seorang
guru ke pikiran siswa. Bahkan bila guru bermaksud untuk memindahkan konsep,
ide, dan pengertian kepada siswa, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan
dibentuk oleh siswa sendiri. Tanpa keaktifan siswa dalam membentuk pengetahuan,
pengetahuan tidak akan terjadi (Bettencourt, 1989).
Jadi
manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek,
fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar
bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan
tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi
harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu
yang sudah jadi tetapi merupkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan
dalam proses itulah keaktivan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu
akan sangat berperan.
Berbicara tentang
konstruktivisme juga tidak dapat lepas dari peran Piaget. J. Piaget adalah
psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses
belajar. Menurut Wadsworth (1989) dalam Suparno (2008), teori perkembangan
intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori
pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme
selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan
memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan
dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai
seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi
pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih
rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan
pengalaman, baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental.
Piaget
membedakan adanya tiga macam pengetahuan: pengetahuan fisis, matematis-logis,
dan sosial. Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat fisis suatu
obyek atau kejadian seperti: bentuk, besar, kekasaran, berat, dan bagaimana
benda-benda itu berinteraksi. Pengetahuan fisis ini didapatkan dari abstraksi
langsung suatu obyek. Pengetahuan matematis-logis adalah pengetahuan yang
dibentuk dengan berpikir tentang pengalaman dengan suatu obyek atau kejadian
tertentu. Pengetahuan ini didapatkan dari abstraksi berdasarkan koordinasi,
relasi ataupun penggunaan obyek. Pengetahuan itu harus dibentuk dari perbuatan
berpikir seseorang terhadap benda itu. Jadi pengetahuannya tidak didapat
langsung dari abstraksi bendanya. Misalnya konsep bilangan. Pengetahuan sosial
adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang secara
bersama menyetujui sesuatu. Pengetahuan ini dibentuk dari interaksi seseorang
dengan orang lain (Piaget, 1971 dalam Suparno, 1997). Pengetahuan ini muncul
dalam kebudayaan tertentu maka dapat berbeda antara kelompok yang satu dengan
yang lain.
Jadi
bisa disimpulkan bahwa konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat
pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan itu merupakan konstruksi
(bentukan) dari orang yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan
fakta-fakta tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek,
pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah “sesuatu yang sudah ada
di sana” dan kita tinggal mengambilnya, tetapi merupakan suatu bentukan terus
menerus dari orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan reorganisasi
karena adanya pemahaman yang baru (Piaget, 1971).
Filsafat konstruktivisme beranggapan
bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan
objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Konstruktivisme bertitik
tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah
mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau
dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan
lingkungannya.
B. Konsep Dasar Aliran Filsafat
Konstruktivisme Tentang Pendidikan
1.
Hakikat
pendidikan menurut aliran filsafat konstruktivisme
Teori konstruktivisme adalah suatu
proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif
membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data.
Oleh karena itu proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian
rupa sehingga mampu mendorong siswa untuk mengorganisasi pengalamannya sendiri
menjadi pengetahuan yang bermakna.
Teori ini mencerminkan siswa
memiliki kebebasan berpikir yang bersifat eklektik, artinya siswa dapat
memanfaatkan teknik belajar apapun asal tujuan belajar dapat tercapai.
2.
Tujuan
umum pendidikan menurut aliran filsafat konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan salah
satu perkembangan model pembelajaran mutakhir yang mengedepankan aktivitas
peserta didik dalam setiap interaksi edukatif untuk dapat melakukan eksplorasi
dan menemukan pengetahuannya sendiri. Aliran konstruktivisme ini, dalam kajian
ilmu pendidikan merupakan aliran yang berkembang dalam psikologi kognitif yang
secara teoritik menekankan peserta didik untuk dapat berperan aktif dalam
menemukan ilmu baru. Kontruktivisme menganggap bahwa semua peserta didik mulai
dari usia kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi memiliki gagasan atau
pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa (gejala) yang terjadi di lingkungan
sekitarnya, meskipun gagasan atau pengetahuan ini sering kali masih naif, atau
juga miskonsepsi. Konstruktivisme senantiasa mempertahankan gagasan atau
pengetahuan naif ini secara kokoh. Gagasan atau pengetahuan tersebut terkait
dengan gagasanatau pengetahuan awal lainnya yang sudah dibangun dalam wujud
schemata (struktur kognitif/ pengetahuan).
Pembelajaran konstruktivisme
juga memungkinkan tersedianya ruang yang lebih baik bagi keterlibatan peserta
didik, memungkinkan peserta didik untuk bereksplorasi: menggali secara lebih
dalam kemampuan, potensi, keindahan dan sikap perilaku yang lebih terbuka.Di
antara ciri yang dapat ditemukan dalam model pembelajaran konstruktivisme ini
adalah peserta didik tidak diindoktrinasi dengan pengetahuan yang disampaikan
oleh guru, melainkan mereka menemukan dan mengeksplorasi pengetahuan tersebut
dengan apa yang telah mereka ketahui dan pelajari sendiri. Menurut paham konstruktivisme,
pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari
suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi
pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan
pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk
menyelesaikan persoalan hidupnya. Tujuan filsafat pendidikan memberikan
inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori
pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan
prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik
pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa
implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna
mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori
pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan
tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat
dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di
lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu
menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni
mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau
miskonsepsi pada diri peserta didik.
3.
Hakikat
guru menurut aliran filsafat konstruktivisme
Dalam
pembelajaran konstruktivis menurut Suparno (1997:16) menyatakan bahwa peran
guru atau pendidik dalam aliran konstruktivisme ini adalah sebagai fasilitator
dan mediator yang tugasnya memotivasi dan membantu siswa untuk mau belajar
sendiri dan merumuskan pengetahuannya. Selain itu guru juga berkewajiban untuk
mengevaluasi gagasan-gagasan siswa itu, sesuaikah dengan gagasan para ahli atau
tidak.
Menurut
prinsip konstruktivis, seorang guru punya peran sebagai mediator dan
fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Maka
tekanan diletakkan pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin ataupun guru
yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan
dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut:
a. Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan siswa ikut bertanggung jawab dalam membuat
design, proses, dan penelitian. Maka jelas memberi pelajaran atau model ceramah
bukanlah tugas utama seorang guru.
b. Guru
menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingin-tahuan
siswa, membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan mereka dan
mengkomunikasikan ide ilmiahnya (Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana
yang merangsang berpikir siswa secara produktif dan mendukung pengalaman
belajar siswa.
c. Memonitor,
mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa itu jalan atau tidak. Guru
menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk
menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu dalam mengevaluasi
hipotesa dan kesimpulan siswa. Disini guru perlu mengerti mereka sudah pada
taraf mana?
Guru perlu belajar mengerti cara berpikir siswa, sehingga dapat membantu memodifikasikannya. Baik dilihat bagaimana jalan berpikir mereka itu terhadap persoalan yang ada. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu. Ini cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak jalan untuk keadaan tertentu (Von Glasersfeld, 1989).
Guru perlu belajar mengerti cara berpikir siswa, sehingga dapat membantu memodifikasikannya. Baik dilihat bagaimana jalan berpikir mereka itu terhadap persoalan yang ada. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu. Ini cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak jalan untuk keadaan tertentu (Von Glasersfeld, 1989).
d. Dalam
sistem konstruktivis guru dituntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam.
Guru perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan dari bahan
yang mau diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam akan memungkinkan
seorang guru menerima pandangan dan gagasan siswa yang berbeda dan juga memungkinkan
untuk menunjukkan apakah gagasan siswa itu jalan atau tidak. Penguasaan bahan
memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai
kepada suatu pemecahan persoalan, dan tidak terpaku kepada satu model.
Tanggung
jawab seorang guru adalah menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak
mungkin untuk belajar secara aktif dimana peran siswa bisa menciptakan,
membangun, mendiskusikan/ membandingkan, bekerjasama, dan melakukan eksplorasi
eksperimentasi (Setyosari, Herianto, Effendi, Sukadi,1996). Untuk mencapai hal
tersebut maka siswa harus didorong dan distimulasi untuk belajar bagi dirinya
sendiri. Dengan demikian tugasnya guru adalah disamping sebagai pemberi
informasi, ia juga bertindak sebagai pemberi kesempatan kepada para siswa untuk
mengumpulkan informasi serta menjamin bahwa siswa menerima tanggung jawab bagi
belajarnya sendiri melalui pengembangan rasa dan antusias.
Kecenderungan
pola pengajaran yang dilakukan tidak lagi berorientasi pada bagaimana siswa
belajar dan berfikir tetapi lebih cenderung bagaimana guru mengajar di depan
kelas. Guru perlu menawarkan berbagai aktvitas belajar di dalam kelas selama
proses belajar berlangsung. Tugas guru hanyalah mengamati atau mengobservasi,
menilai, dan menunjukkan hal-hal yang perlu dilakukan siswa.