Senin, 03 Juni 2013

land pend

A. Pengertian Landasan Pendidikan
Landasan, istilah landasan mengandung arti sebagai alas, dasar atau tumpuan (kamus besar bahasa Indonesia, 1995:560). Istilah landasan dikenal pula sebagai fundasi. Mengacu pada pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa landasan adalah alas atau dasar pijakan dari sesuatu hal; suatu titik tumpu atau titik tolak dari suatu hal ; atau suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu hal.
Menurut sifat wujudnya dapat dibedakan dua jenis landasan yaitu : (1) landasan yang bersifat material, dan (2) landasan yang bersifat konseptual. Contoh landasan yang bersifat material antara lain berupa landasan pacu pesawat terbang dan fundasi bangunan gedung. Adapun contoh landasan yang bersifat konseptual antara lain berupa dasar Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila dan UUD RI Tahun 1945; landasan pendidikan, dsb.
Landasan yang bersifat konseptual identik dengan asumsi, yaitu suatu gagasan, kepercayaan, prinsip, pendapat atau pernyataan yang sudah dianggap benar, yang dijadikan titik tolak dalam rangka berpikir (melakukan suatu studi) dan/atau dalam rangka bertindak. (melakukan suatu praktek).
Landasan pendidikan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa landaan pendidikan adalah seperangkat asumsi yang dijadikan titik tolak dalam rangka pendidikan. Sebagaimana telah kita pahami, dalam pendidikan mesti terdapat momen studi pendidikan dan momen praktek pendidikan.
B. Jenis-jenis Landasan Pendidikan
Asumsi-asumsi yang menjadi titik tolak dalam rangka pendidikan dari berbagai sumber, dapat bersumber dari agama, filsafat, ilmu dan hukum atau yuridis. Jenis landasan pendidikan dapat diidentifikasi dan dikelompokan menjadi : 1) landasan religious pendidikan, 2) landasan filosofis pendidikan, 3) landasan ilmiah pendidikan, dan 4) landasan hukum/yuridis pendidikan.
Landasan Religius Pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari ajaran agama yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Contohnya: Carilah ilmu sejak dari buaian hingga masuk liang lahat/meninggal dunia.”Menuntut ilmu adalah fardhlu bagi setiap muslim.” (hadist). Implikasinya, bagi setiap muslim bahwa belajar atau melaksanakan pendidikan sepanjang hayat merupakan suatu kewajiban.
Landasan filosofis Pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari filsafat yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan.
Landasan ilmiah pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari disiplin ilmu tertentu yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan.
Landasan psikologis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah psikologi yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Contoh.”Setiap individu mengalami perkembangan secara bertahap, dan pada setiap tahap perkembangannya setiap individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikannya.”Implikasinya, pendidikan mesti dilaksanakan secara bertahap, tujuan dari isi pendidikan mesti disesuaikan dengan tahapan dan tugas perkembangan individu/peserta didik.
Landasan Sosiologis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Contoh.” Di dalam masyarakat yang menganut stratifikasi social terbuka terdapat peluang besar untuk terjadinya mobilitas social. Adapun fakta yang memungkinkan terjadinya mobilitas social itu antara lain bakat dan pendidikan.”Implikasinya, para orang tua rela berkorban membiayai pendidikan anak-anaknya.
landasan antropologis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah antropologi yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Contoh : perbedaan kebudayaan masyarakat di berbagai daerah (misalnya: system mata pencaharian, bahasa, kesenian, dsb). mengimplikasikan perlu diberlakukan kurikulum muatan lokal.
Landasan historis pendidikan adalah asumsi-asumsi pendidikan yang bersumber dari konsep dan praktek pendidikan masa lampau (sejarah) yang dijadikan titik tolak perkembangan pendidikan masa kini dan masa datang. Contoh ‘Semboyan “tut wuru handayani”. sebagai salah satu peranan yang harus dilaksanakan oleh para pendidik, dan dijadikan semboyan pada logi Depdiknas, adalah semboyan dari Ki Hadjar Dewantara (Pendiri Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1992 di Yogyakarta) yang disetujui hingga masa kini dan untuk masa datang karena dinilai berharga.
Landasan Hukum/Yuridis Pendidikan, adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundanganan yang berlaku, yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Contoh. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dsb.
Landasan deskriptif pendidikan adalah asumsi-asumsi tentang kehidupan manusia sebagai sasaran pendidikan apa adanya (Dasein) yang dijadikan titik tolak dalam rangka pendidikan. Landasan deskriptif pendidikan umumnya bersumber dari hasil riset ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu, sebab itu landasan pendidikan deskriptif disebut juga sebagai landasan ilmiah atau landasan pendidikan factual pendidikan. Landasan deskriptif pendidikan antara lain meliputi ; landasan psikologis pendidikan, landasan sosiologi pendidikan, landasan antropologi pendidikan, dsb.
C. Fungsi Landasan Pendidikan
Pendidikan yang diselenggarakan dengan suatu landasan yang kokoh, maka prakteknya akan mantap, artinya jelas dan tepat tujuannya, tepat pilihan isi kurikulumnya, efisien dan efektif cara-cara pendidikan yang dipilihnya, dst. Dengan demikian landasan yang kokoh setidaknya kesalahan-kesalahan konseptual yang dapat merugikan akan dapat dihindarkan sehingga praktek pendidikan diharapkan sesuai dengan fungsi dan sifatnya, serta dapat dipertanggungjawabkan.
MANUSIA DAN PENDIDIKAN
A. Hakikat Manusia
Manusia adalah makhluk Tuhan YME, dalam perjalanan hidupnya manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan asal-usul keberadaan dirinya sendiri. Dua aliran filsafat yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme (J.D. Butler, 1968). Menurut Evolusionismme, manusia adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di alam semesta. Manusia sebgaimana halnya alam semesta ada dengan sendirinya berkembang dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Sebaliknya filsapat Kreasionisme menyatakan bahwa asal-usul manusia, sebagaimana halnya alam semesta adalah ciptaan suatu Creative Causee atau Personality, yaitu Tuhan YME.
Adapun secara filosofis penolakan tersebut antara lain didasarkan kepada empat argument berikut ini :
1) Argumen ontologism ; Semua manusia memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, bahwa realitas (kenyataan) lebih sempurna daripada ide manusia. Sebab itu. Tuhan pasti ada dan realitas ada-Nya itu pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuha.
2) Argumen Kosmologis, Segala sesuatu yang ada mesti mempunyai suatu sebab. Adanya alam semesta termasuk manusia adalah sebagai akibat. Di alam semesta terdapat rangkaian sebab akibat, namun tentunya mesit ada sebab Pertama yang tidak disebabkan oleh yang lainnya.
3) Argumen Teleologis, Segala sesuatu memiliki tujuan (contoh : mata untuk melihat, kaki untuk berjalan dsb.). Sebab itu, segala sesuatu (realitas) tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan diciptakan oleh Pengatur tujuan tersebut, yaitu Tuhan.
4) Argumen Moral : Manusia bermoral, ia dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang jahat, dsb. Ini menunjukan adanya dasar, sumber dan tujuan moralitas.Dasar, sumber, dan tujuan moralitas itu adalah Tuhan.
Dengan demikian dapat Anda simpulkan bahwa manusia adalah individu/pribadi, artinya manusia adalah satu kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan yang lainnya sehingga bersifat unik, dan merupakan subjek yang otonom.
Sosialitas. Sekalipun setiap manusia adalah individual/personal, tetap ia tidak hidup sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak mungkin hidup hanya untuk dirinya sendiri, melainkan ia juga hidup dalam keterpautan dengan sesamanya.
Keberbudayaan. Kebudayaan adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar” (Koentjaraningrat, 1985). Ada tiga jenis wujud kebudayaan, yaitu : 1) sebagai kompleks dari ide-ide, ilmu pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dsb. 2) sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyrakat; dan 3) sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Moralitas. Eksistensi manusia memiliki dimensi moralitas. Manusia memiliki dimensi moralitas karena ia memiliki kata hati yang dapat membedakan antara baik karena ia memiliki kata hati yang dapat membedakan antara baik dan jahat. Adapun menurut Immanuel Kant disebabkan pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical imperative).
Keberegamaan. Keberegamaan merupakan salah satu karakteristik esensial manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang diwujudkan dalam sikap dan perilakunya. Hal ini terdapat pada manusia manapun, baik dalam rentang waktu (dulu, sekarang, akan datang). Dimanapun manusia berada.
Historisitas. Eksistensi manusia memiliki dimensi historisitas, artinya bahwa keberadaan manusia pada saat in terpaut kepada masa lalunya, ia belum selesai mewujudkan dirinya sebagai manusia, ia mengarah ke masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya.
Komunikasi/Interaksi. Dalam rangka mencapai tujuan hidupnya, manusia berinteraksi/berkomunikasi. Komunikasi ini dilakukan baik secara vertical, yaitu dengan Tuhannya, secara horizontal yaitu dengan alam dan sesama manusia serta budayanya.
Dinamika. N. Drijarkara S.J. (1986) menyatakan bahwa manusia mempunyai atau berupa dinamika (manusia sebagai dinamika), artinya manusia tidak pernah berhenti, selalu dalam keaktifan, baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya.
B. Prinsip-prinsip Antropologis Keharusan Pendidikan ; Manusia sebagai Makhluk yang perlu didik dan mendidik diri.
Prinsip Historisitas, Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian terdahulu, eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya sekaligus mengarah kemasa depan untuk mencapai tujuan hidupnya.
Prinsip Idealistis. Bersamaan dengan hal diatas, dalam eksistensinya manusia mengemban tugas untuk menjadi manusia ideal. Sosok manusia ideal merupakan gambaran manusia yang dicita-citakan atau yang seharusnya. Sebab itu, sosok manusia ideal tersebut belum terwujudkan melainkan harus diupayakan untuk diwujudkan.
Prinsip Posibilitas/aktualitas. Bagaimana mungkin manusia dapat ? Untuk menjawab pertanyaan ini mari terlebih dahulu kita bandingkan sifat perkembangan hewan dengan perkembangan manusia. Perkembangan hewan bersifat terspesialisasi/tertutup. Sebaliknya perkembangan manusia bersifat terbuka. Manusia memang telah dibekali untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, potensi untuk dapat berbuat baik, potensi cipta, rasa, karsa, dsb. Namun setelah kelahirannya, bahwa berbagai potensi tersebut mungkin terwujudkan, mungkin kurang terwujudkan, atau mungkin pula kurang terwujudkan. Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya. Sebaliknya mungkin pula ia berkembang kea rah yang kurang atau tidak sesuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaannya.
C. Prinsip-prinsip Kemungkinan Pendidikan : Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Dididik
Manusia perlu dididik dan mendidik diri. Permasalahannya : apakah manusia akan dapat dididik ? prinsip-prinsip Antropologis apakah yang melandasinya ? Untuk menjawab permasalah tersebut, kita dapat mengacu kepada konsep hakikat manusia sebagaimna telah diuraikan terdahulu (point A). Berdasarkan hal tersebut dapat ditemukan lima prinsip antropologis yang melandasi kemungkinan manusia akan dapat dididik, yaitu : (1) prinsip potensialitas, (2) prinisp dinamika, (3) prinisp individualitas, (4) prinsip sosilaitas, dan (5) prinsip moralitas.
1. Prinsip Potensialitas.
Pendidikan bertujuan agar seseorang menjadi manusia ideal.
2. Prinsip Dinamika
Pendidikan diupayakan dalam rangka memfasilitasi peserta didik agar menjadi manusia ideal
3. Prinsip Indivdiulitas
Praktek pendidikan merupakan upaya pendidik memfasilitasi manusia (peserta didik) yang antara lain diarahkan agar ia mampu menjadi dirinya sendiri (menjadi seseorang/pribadi). Di pihak lain, manusia (peserta didik) adalah individu yang memiliki ke diri-sendirian (subjektifitas), bebas dan aktif berupaya untuk menjadi dirinya sendiri, sebab itu, individualitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
4. Prinisp Sosialitas
Pendidikan hakikatnya berlangung dalam pergaulan (interaksi/komunikasi) antar semasam manusia (pendidik dan peserta didik).
5. Prinsip Moralitas
Pendidikan bersifat normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan system norma dan nilai tertentu.
PENGERTIAN PENDIDIKAN
A. Pengertian Pendidikan berdasarkan Lingkupnya
1. Pendidikan Dalam Arti Luas
Dalam arti luas pendidikan adalah hidup, artinya, pendidikan adalah segala pengalaman (belajar) di berbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi perkembangan individu.
Dalam arti luas pendidikan berlangsung bagi siapa pun, kapan pun, dan dimana pun. Pendidikan tidak terbatas pada penyekolahan (schooling) saja, bahkan pendidikan berlangsung sepanjang hayat.
Dalam arti luas tujuan pendidikan terkandung dalam setiap pengalaman belajar dan tidak ditentukan dari luar. Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan, jumlah tujuan pendidikan tidak terbatas. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup (redja Mudyahardjo, 2001).
2. Pendidikan Dalam Arti Sempit
Dalam arti sempit pendidikan hanya berlangsung bagi mereka yang menjadi siswa pada suatu sekolah atau mahasiswa pada suatu perguruan tinggi (lembaga pendidikan formal). Pendidikan dilakukan dalam bentuk pengajaran yang terprogram dan bersifat formal. Pendidikan berlangsung di sekolah atau di dalam lingkungan tertentu yang diciptakan secara sengaja dalam konteks kurikulum sekolah yang bersangkutan.
Dalam pengertian sempit tujuan pendidikan ditentukan oleh pihak luar, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik untuk dapat hidup di masayarakat (Redja Mudyahardjo, 2001).
B. Pengertian pendidikan berdasarkan Pendekatan Ilmiah dan Pendekatan Sistem
1. Pengertian Pendidikan berdasarkan Pendekatan Ilmiah
Berdasarkan pendekatan sosiologi, pendidikan dipandang identik dengan sosialisasi yaitu suatu proses membantu generasi muda agar menjadi anggota masyarakat yang diharapkan. Hal ini sebagaimana didefinisikan oleh Emile Durkheim (Jeane H. Ballantine, 1985) bahwa : Education is the influence exercised by adult generations on those that are not yet ready for social life. It is objekct is to arouse and to develop in the child a certain number of physical society as a whole and the special milieu for which he is specifically destined. (Pendidikan adalah pengaruh yang dilakukan oleh generasi orang dewasa kepada mereka yang belum siap untuk melakukan kehidupan social. Sasarannya adalah membangun dan mengembangkan sejumlah kondisi fisik, intelektual, dan moral pada diri anak sesuai dengan tuntutan masyarakat politis secara keseluruhan dan oleh lingkungan khusus tempat ia akan hidup dan berada).
Berdasarkan pendekatan antropologi, pendidikan dipandang identik dengan enkulturasi atau pembudayaan.
Berdasarkan pendekatan ekonomi, pendidikan dipandang sebagai human investment atau usaha penanaman modal pada diri manusia untuk mempertinggi mutu tenaga kerja, sehingga mempertinggi produksi barang dan/atau jasa. Sedangkan berdasarkan tinjauan politik, pendidikan didefinisikan sebagai proses civilisasi, yaitu “Suatu upaya menyiapkan warga Negara yang sesuai dengan aspirasi bangsa dan negaranya (Odang Muchtar 1976).
2. Pengertian Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem
Berdasarkan pendekatan system, pendidikan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan yang terdiri atas sejumlah komponen yang saling berhubungan secara fungsional dalam rangka mencapai tujuan pendidikan (mentransformasi input menjadi out put).
Menurut P.H. Coombs (Odang Muchtar, 1976), ada tiga jenis sumber input dari masayarakat bagi system pendidikan yaitu :
1. Ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang berlaku di dalam masyarakat
2. Penduduk serta tenaga kerja yang berkualitas
3. Ekonomi atau penghasilan masyarakat
C. Pendidikan sebagai Humanisasi
Definisi pendidikan telah kita pahami bahwa manusia adalah makhluk yang perlu dididik dan daapt dididik. Di pihak lain telah kita pahami paula bahwa eksistensi manusia tiada lain adalah utnuk menjadi manusia. Inilah keharusannya sebagaimana dikatakan Karl Japers bahwa :”to be a man is to become a man” / ada sebagai manusi adalah menjadi manusia (Fuad Hasan, 1973). Adapun manusi akan dapat menjadi manuia hanya melalui pendidikan. Implikasinya maka pendidikan tiada lain adalah humanisasi (upaya memanusiakan manusia).
Tujuan dan fungsi pendidikan. Pendidikan diupayakan dengan berawal dari manusia apa adanya (aktualitas) dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang ada padanya (potensialitas), dan diarahkan menuju terwujudnya manusia yang seharusnya /dicita-citakan (idealitas).
Sebagai humanisasi pendidikan seyogyanya meliputi berbagai bentuk kegiatan dalam upaya mengembangkan berbagai potensi manusia dalam konteks dimensi keberagaman, moralitas, individualitas/personalitas, sosialitas dan keberbudayaan secara menyeluruh dan terintergrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar